Sunday, May 11, 2014

cerita Anak Inspirasi, Raisa dan Rusa

Sudah lama saya ingin menulis di komunitas blog. Selama ini saya aktif menulis di blog keroyokan kompasiana milik kompas dengan akun Ferry Abu Qaswa. Tulisan  pertama di blog baru saya ini, sebuah cerita inspiratif berjudul Raisa dan Rusa, selamat menikmati.
***
“Tok Tok Tok”
“Assalamu’alaikum.”
Raisa yang baru pulang dari sekolah mengetuk pintu 3 kali dan mengucap salam di depan pintu.
“Wa’alaikum salam. Ehh, Putri Bunda yang paling manis sudah pulang.” Sahut salam Bunda membuka pintu. Memuji putri kesayangannya tersebut.
Masuk ke dalam rumah, segera Raisa melepas kaos kaki dan sepatu. Memasukkan kaos kakinya ke dalam lubang sepatu. Kemudian meletakkan kedua sepatu yang berwarna hitam itu ke dalam lemari sepatu.
Segera Raisa masuk ke kamarnya. Menggantung tas sekolahnya yang berwarna merah muda di gantungan yang terletak di dinding kamar. Mengganti pakaian seragam sekolah dengan pakaian sehari-hari. Rutinitas harian yang selalu dikerjakan, Raisa setiap pulang sekolah.
Raisa tidak menyadari bahwa sedari tadi Bundanya memperhatikannya terus. Mengikutinya sampai ke dalam kamar. Ada aneh dan janggal yang dilihat Bunda. Wajah Raisa berbeda dari biasanya. Raisa yang biasa ceria dan selalu tersenyum, hari ini wajahnya terlihat manyun dan sedikit ditekuk. Ada nada kesedihan di wajah tersebut.
“Kok wajahnya cemberut?” Selidik Bunda.
“Heheeeeeeeehe huk huk huk.” Raisa tidak menjawab, hanya tangis sedihnya yang terdengar. Memeluk bundanya dengan erat. Bunda biarkan Raisa menangis dalam pelukannya. Biarkan sesaat Raisa menumpahkan air matanya.
“Cup cup cup. Ada apa sayang?” Setelah tangis Raisa reda, Bunda berusaha menenangkan dan bertanya lembut sesuatu yang membuat Raisa bersedih. Bunda mengusap lembut rambut Raisa yang panjang.
“Bu Aida, Bun. Bu Aida tidak adil. Bu Aida pilih kasih.” Kata Raisa, suaranya masih sengau disebabkan tangisnya tadi.
“Bu Aida tidak adil? Pilih kasih? Tidak Adil dan pilih kasih apanya?” Tanya Bunda.
“Ya, Bu Aida tidak memilih saya sebagai wakil lomba baca puisi antar SD yang sebentar lagi dilaksanakan. Bu Aida malah memilih Ningrum dan Amel. Padahal aku lebih baik dari mereka berdua.” Raisa menumpahkan kekesalannya. Menjelaskan kesedihannya.
“Pasti ada alasan tertentu. Mengapa Bu Aida memilih Ningrum dan Amel dibanding kamu?”
“Gak ada alasan itu, Bun. Raisa. lebih baik dari mereka. Seharusnya Raisa yang terpilih. Setiap tahun sejak kelas 2, 3 dan 4, Raisya yang selalu terpilih menjadi wakil lomba baca puisi. Raisa rasa ada sesuatu, sehingga Bu Aida tidak memilih Raisya tahun ini.”
“Tidak boleh menuduh yang bukan-bukan. Pasti Bu Aida memiliki alasan, sehingga kamu tidak terpilih tahun ini.” Kata Bunda lembut.
“Raisya kesel dan mangkel, Bun. Raisa malu.” Raisa masih tidak menerima keputusan Bu Aida.
“Kok malu? Apa yang harus Raisa malukan? Raisa tidak mencuri atau menipu. Kalau Raisa mencuri atau menipu, baru Raisa malu. Seharusnya Raisa berbesar hati. Bahwa ada yang lebih baik dari Raisa. Emang apa sebabnya sih? Raisa ngotot banget pengen terpilih jadi wakil lomba baca puisi?” Selidik Bunda.
“Raisa malu, Bun. Raisa sudah ngomong sama teman-teman di kelas 5A dan kelas 5B, bahwa Raisa-lah yang akan mewakili lomba baca puisi untuk anak-anak kelas 5. Saat seleksi diadakan, kenyataannya Raisa tidak terpilih. Raisa jadi geer.”
“Masya Allah, Raisa. Berani-beraninya Raisa memastikan sesuatu yang belum pasti terjadi. Itu namanya sombong. Bukankah kita pernah dengar ceramah Ustad Maulana yang menyampaikan sabda Rasulullah, bahwa tidak akan masuk surga manusia yang ada di hatinya ada kesombongan sebesar debu.”
“Maafin Raisa, Bunda. Raisa khilaf. Raisa ngaku salah.”
“Ya, Bunda, Maafkan. Ke depannya Raisa mesti hati-hati dalam bersikap. Apapun yang telah Allah tetapkan bagi Raisa patut disyukuri. Raisa terpilih atau tidak sebagai wakil lomba baca puisi, harus tetap bersyukur. Jika terpilih bersyukur. Tidak terpilih juga bersyukur. Bila Raisa bersyukur, insya Allah akan Allah tambah kenikmatan itu.” Nasehat Bunda tentang keutamaan bersyukur.
Raisa hanya menggangguk mendengar nasehat Bunda tercintanya.
 “Raisya tahu gak hewan rusa?” Bunda bertanya, membuka topik pembicaraan yang baru.
“Tahu dong, Bunda. Hewan rusa adalah hewan berkaki empat, perawakannya mirip kancil atau kambing, tapi memiliki ciri khas, ada tanduk berbentuk seperti akar pohon di kepalanya.”
“100 untuk putri Bunda yang cerdas dan shalihah. Raisa, mau dengar kisah tentangg rusa yang tidak bersyukur, gak?” Kata Bunda.
“Mau Bunda. Sudah lama Bunda tidak bercerita. Terakhir Bunda bercerita ketika Raisa baru naik kelas 2 SD. Bunda bilang Raisa sudah besar. Gak perlu lagi dibacakan cerita dongeng sebelum tidur.” Jawab Raisa setuju.
Bunda pun mulai bercerita
Ada seekor rusa yang memisahkan diri dari kekawanannya, berjalan menyendiri. Si rusa sedang berada di tepi sungai yang jernih. Saking jernih air sungainya, benda apa saja yang di atas atau sekitar sungai akan membentuk bayangan di sungai. Sungai menjadi cermin bagi benda di sekitarnya. Tampak Si rusa sedang memandang bayangan dirinya di sungai. Memperhatikan seluruh lekuk tubuhnya, dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Ya, Allah. Betapa elok tanduk yang Engkau berikan kepada hamba. Bentuknya sangat indah dan menawan hati.” Gumam si rusa yang sedang mengagumi tanduk di kepalanya.
Usai mengagumi bentuk tanduknya, pandangan si rusa berpindah ke bawah memandang keempat kakinya. Memperhatikan bentuk kakinya.
“Ya. Allah. Sungguh tidak adil Engkau. Hamba yang memiliki tanduk yang indah, sungguh tidak sepadan dengan bentuk kaki hamba yang kecil. Mengapa tidak Engkau ciptakan kaki hamba besar? Supaya tampak serasi dan kelihatan gagah dengan bentuk tanduk yang ada di kepala hamba.” Kata si rusa. Kata-kata yang bernada tidak mensyukuri apa yang telah ditetapkan Allah kepadanya.
Si rusa tidak menyadari sedari tadi ada harimau yang mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya. Berusaha untuk menjadikan si rusa menjadi santapan sang harimau. Mengendap perlahan-lahan sang harimau mendekati si rusa. Berusaha menerkam.
“Jangan makan saya.” Teriak si rusa,s esaat mengetahui sang harimau yang hendak menerkamnya. Si rusa lihat bayangan harimau di sungai. Si rusa meloncat, menghindar dan berlari menjauh dari sang harimau menuju hutan. Harimau yang merasa buruannya terlepas, berusaha mengejar Si Rusa. Terjadi kejar-kejaran antara si rusa dan sang harimau. Namun si rusa unggul. Ia melesat meninggalkan sang harimau.
Merasa telah meninggalkan jauh sang harimau dan juga kelelahan, si rusa pun berhenti sebentar. Beristirahat di tengah hutan.
“Ya. Allah. Baru hamba menyadari mamfaat dari kaki hamba yang kecil ini. Mampu berlari cepat dan lincah mendahului laju sang harimau yang mengejar hamba. Maafkan hamba ya Allah.” Berkata si rusa di dalam hati, menyadari kekeliruannya.
Belum lama si rusa beristirahat. Dari kejauhan terlihat sang harimau sedang berlari hendak kembali menerkam dan menangkap si rusa. Si rusa pun kembali berlari, menjauh dari sang harimau. Kejar-kejaran terjadi lagi.
Sungguh malang, tanduk rusa tersangkut ranting-ranting salah satu pohon di hutan. Lari si rusa pun terhenti. Si rusa berontak, menggoyang-goyangkan kepalanya, berusaha melepaskan tanduknya dari ranting. Namun tidak bisa.
Sang harimau semakin mendekat. Si rusa berusaha lagi melepaskan tanduknya dari ranting. Kembali tidak bisa. Akhirnya pasrah si rusa menerima nasibnya. Sang harimau menyeringai penuh kemenangan. Menerkam dan mencabik-cabik tubuh si rusa dengan kukunya yang tajam. Si rusa pun tewas seketika. Menjadi santapan sang harimau.
 “Kasihan ya si rusa, Bun.” Kata Raisa, usai Bunda menyelesaikan ceritanya.
“Itulah hukum rimba anakku. Yang kuat menindas dan memangsa yang lemah. Apa Raisa bisa mengambil pelajaran dari kisah rusa dan harimau tadi?” Ujar Bunda.
“Gak, Bun.” Raisa menggelengkan kepalanya.
“Baik, Bunda jelaskan. Segala sesuatu yang kita sukai dari apa yang telah ditetapkan Allah di diri kita, belum tentu itu sesuatu yang baik bagi kita. Dan segala sesuatu yang tidak kita sukai dengan apa yang telah ditetapkan Allah di diri kita, belum tentu itu sesuatu yang baik bagi kita.” Kata Bunda.
“Seperti si rusa ya, Bun. Ia tidak menyukai bentuknya kakinya yang kecil, namun kakinya itulah yang membuatnya mampu berlari lincah dan cepat mendahului sang harimau. Tanduk di kepalanya yang ia kagumi dan bangga-banggakan menjadi sesuatu yang mencelakakan bagi si rusa.”
“Benar. 100 lagi buat puteri Bunda yang cerdas. Kisah si rusa dan dengan apa yang tengah di hadapi Raisya tentang wakil baca puisi; Apa ada hubungannya?”
“Oh ya, Benar Bunda. Meski tidak terpilih sebagai wakil baca puisi, mungkin ada hikmah tersembunyi yang Allah berikan kepada Raisya. Terima kasih, Bunda atas nasehatnya. Atas kisah rusanya yang penuh pelajaran.”
“Raisa sudah shalat zuhur?” Tanya Bunda.
“Belum.” Raisa menggelengkan kepala.
“Ayo, shalat zuhur dulu! Bukankah shalat itu tiang agama? Jika kita shalat, berarti kita telah mendirikan tiang agama. Jika kita tidak shalat, maka kita telah meruntuhkan tiang tersebut.”
“Raisa. Shalat dulu ya, Bun! Ambil air wudu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
***

No comments:

Post a Comment