Gambaran Dilan dan Milea |
Sambung lagi ceritanya, untuk lebih asyik dan lebih lengkapnya, beli
langsung saja novelnya di toko-toko buku terkenal di kota anda
(SEBELAS)
Itu
hari selasa, ketika aku mendapat surat
dari Dilan. Entah bagaimana Dilan bisa nitip suratnya ke Rani. Isi suratnya
pendek:
”Pemberitahuan: Sejak sore kemaren, aku sudah mencintaimu – Dilan!”.
Aku
seperti terkesiap membacanya. Lalu dengan cepat, langsung kututup surat itu.
Jadi
malu sendiri rasanya, dan berharap Rani tidak sudah membacanya. Kayaknya belum,
karena surat
itu dimasukkan ke dalam amlop yang tertutup.
Aku
hanya kuatir orang-orang akan tahu apa isinya. Lalu dengan cepat kumasukkan ke
dalam tas, seolah dengan itu bisa kujejalkan sampai masuk sedalam mungkin.
Dia,
menurutku, hari ini, harus bertanggungjawab, karena sudah berhasil mengganggu
kosentrasi belajarku.
(DUA
BELAS)
Di
kantin, pada waktu istirahat, aku duduk satu meja dengan Nandan, Dito, Jenar
dan Rani. Masing-masing makan batagor sambil bicara ini itu yang gak perlu.
Mereka semuanya teman sekelas, kecuali Jenar, dia anak kelas 2 Sosial.
Dilan
pasti di sana,
bersama kawan-kawannya, di warung bi Eem. Aku belum pernah makan di sana, selain cuma lewat
setiap pergi dan saat pulang sekolah.
Warung
kecil, kira-kira 30 meter dari sekolah, di samping gereja Pantekosta. Huh! Aku
juga tahu, kenapa kamu milih ke sana.
Biar bisa merokok.
(TIGA
BELAS)
Aku
mau cerita tentang yang lain yang bukan Dilan. Ini tentang Nandan. Nandan Hadi
Prayitno. Kata Rani, Nandan naksir aku, tapi aku cuma senyum mendengarnya,
karena soal itu sudah lama aku tahu.
Aku
bisa membaca bagaimana sikap dan perilaku Nandan kepadaku. Bagiku, semuanya,
termasuk suka nelepon malam hari nanya-nanya soal PR, nraktir kami makan di
kantin, berusaha membuatku ketawa dengan aneka macam lawakan, itu adalah modus,
untuk mencari perhatianku.
Aku
setuju, kalau ada yang bilang Nandan baik. Dan, kalau aku boleh jujur, Nandan
lebih tampan dari Dilan. Nandan juga humoris, jago basket, dan lain-lain,
pokoknya Nandan adalah lelaki idaman tiap wanita.
Nandan
juga masih jomblo, masih belum punya pacar. Pernah sih dekat dengan Pila, anak
kelas 2 Sosial, tapi ga tahu kenapa, belakangan hubungan mereka jadi renggang.
(EMPAT
BELAS)
Sumpah,
aku terkejut, pas kulihat ada Dilan. Dia datang ke kantin bersama dua orang
yang belum kutahu namanya. Entah bagaimana perasaanku saat itu, sangat sulit
kuungkapkan. Aku hanya tahu aku menjadi salah tingkah.
Dia
mendatangi meja kami, dan menyapaku:
“Hei,
Milea!”
“Hei,
Dilan”
“Cuma
nyapa”
Lalu
dia pergi bersama kedua temannya, entah kemana, mungkin ke kelas, tapi sebelum
pergi, dia bicara ke Nandan:
“Eh,
Dan, kamu tahu gak?”
“Tahu
apa?”
“Aku
mencintai Milea?”
“He
he he”. Nandan tersenyum sambil sekilas memandangku. Rani, Dito dan Jenar,
semuanya ketawa. Mukaku pasti merah.
“Tapi
malu mau bilang”, kata Dilan lagi
“Itu,
sudah bilang? He he” Nandan ketawa kecil
“Aku
kan bilang ke
kamu, bukan ke dia”
“Dia
denger kan?”,
tanya Nandan
“Mudah-mudahan”
Dilan
pergi. Bisa kubaca mata Nandan, kayaknya dia merasa keganggu oleh
kata-kata Dilan. Bisa jadi itu cuma tebakanku saja. Aku bukan ahli membaca
bahasa tubuh. Cuma aku yakin, Nandan tidak suka dengan Dilan, sejak itu, sejak
dia tahu Dilan menyukaiku. Mencintaiku.
(LIMA BELAS)
Setelah
istirahat selesai, kami masuk lagi ke kelas untuk ikut pelajaran lainnya. Kamu
tahu kemana Dilan? Dilan masuk ke kelasku, dan duduk di bangku sebelahku,
membuat Rani jadi pindah ke kursi belakang yang memang kosong.
Heran,
kenapa tidak seorang pun yang berusaha ngusir Dilan? Nandan sebagai dirinya
Ketua Murid, cuma bisa diam saja. Sejujurnya, aku sendiri merasa risih dengan
adanya Dilan. Tapi mau gimana lagi.
Dilan
minta kertas, aku kasih. Di kertas itu, dia nulis:
Informasi:
Daftar
orang-orang yang ingin jadi pacarmu:
1.
Nandan (Kelas 2 Biologi)
2. Pak Aslan (Guru Olah Raga)
3. Tobri (Kelas 3 Sosial)
4. Acil (Kelas 2 Fisika)
5. Dilan (Manusia)
2. Pak Aslan (Guru Olah Raga)
3. Tobri (Kelas 3 Sosial)
4. Acil (Kelas 2 Fisika)
5. Dilan (Manusia)
Aku
senyum membacanya. Kemudian kulihat dia mencoret semua nama di daftar itu,
kecuali nama dirinya.
“Kenapa?”,
kutanya
“Semuanya
akan gagal”, dia bilang begitu dengan berbisik.
“Kecuali
kamu?”
“Iya.
Doain”
Kawan-kawanku
sibuk dengan dirinya sendiri, seolah-olah tidak merasa terganggu oleh adanya
Dilan, meskipun aku yakin mereka pasti gak suka. Kulihat Nandan, duduk terus di
bangkunya, seperti orang bingung yang gak suka ada Dilan, tapi tidak tahu harus
berbuat apa.
Pak
Atam, guru pelajaran Bahasa Indonesia, sudah datang masuk kelas, tapi Dilan
tidak pergi. Tetap duduk. Edan ini orang, pikirku! Dilan benar-benar ikut
pelajaran Pak Atam. Sambil berbisik, aku ngomong ke dia:
”Nanti
kamu dialpain di kelasmu”
“Ga
apa-apa”, jawabnya, seraya tetap memandang ke depan, menyimak pelajaran, sampai
akhirnya Pak Atam tahu ada seorang penyelundup:
“Kenapa
di sini?”. Pak Atam nanya. Kawan-kawan sekelas memandang semua ke arah Dilan.
Muka mereka seperti puas karena akhirnya Pak Atam tahu dan menegurnya.
“Salah
masuk, Pak! Maaf!!”, jawab Dilan sambil beranjak dari duduknya dan pergi
diiringi tatapan Pak Atam yang tidak respek kepadanya.
Bersambung …..
BAGIAN 16-18