Wednesday, June 4, 2014

DILAN: DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1990 Bag 6-10

                 Sambung lagi ceritanya, untuk lebih asyik dan lebih lengkapnya, beli langsung saja novelnya di toko-toko buku terkenal di kota anda


Gambaran sosok "Melia"


              
                                                                    (ENAM)
             
           Di hari minggu, waktu sedang nyuci sepatuku, aku mendengar bel rumah berbunyi, karena dipijit oleh tamu. Aku teriak manggil si Bibi untuk meladeni tamu itu.
           
           Kebetulan, hari itu, di rumah, hanya ada aku dan si Bibi. Ayah, ibu dan adik bungsuku sedang pergi ke acara pernikahan saudara. Si Bibi bergegas nemui tamu dan lalu balik kembali menemuiku:
          
          “Tamu. Mau ke Lia”, kata si Bibi. Lia itu nama panggilanku di rumah
        
          Aku bersihkan tanganku dari busa dan langsung ke sana, nemui tamu itu. Ya tuhan, aku kaget, ternyata tamunya adalah dia: Sang Peramal. Aku senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku. Berasa seperti sedang terjadi kontak batin, antara aku dengannya, membahas ramalannya yang benar-benar terjadi.
            “Hei” Kusapa dia.
            “Ada undangan”, dia langsung bilang begitu, seraya menyodorkan sebuah amplop sambil masih berdiri di situ, di depan pintu.
            “Undangan apa?”, kupandangi amplop itu.
            “Bacalah, tapi nanti”
            “Oke”
            “Bacalah, bahasa arabnya apa, Yan?” Dia nanya ke si Piyan yang datang bersamanya.
            “Apa ya?”, Piyan balik nanya
            “Oh! Iqra”, dia jawab pertanyaannya sendiri: “Iqra, Milea!”, katanya lagi.
            “He he he” Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja kupandang matanya.
            “Aku langsung ya?”, dia permisi untuk pergi
            “Kok tahu rumahku?”, kutanya
            “Aku juga akan tahu kapan ulangtahunmu”
           
            “He he”
           
            “Aku pergi dulu ya?”
           
            “Iya”
            “Assalamualaikum jangan?!”
            “Assalamualaikum”
            “Alaikumsalam”
            “He he he”
           
                                                              (TUJUH)
           
            Aduh, Tuhan, siapa sih dia itu! Maksudku, selain seorang Peramal, aku ingin tahu siapa dia itu sesungguhnya, dan mengapa tadi aku harus gugup di depannya?
           
            Aku masuk kamar dan senyum sendiri terutama karena memikirkan soal ramalannya yang benar. Tapi kenapa dia tidak membahasnya? Membahas soal ramalan? Atau sengaja? Entahlah. Aku baca surat undangan darinya sambil selonjoran di atas kasur.
           
             Itu adalah surat undangan yang ditulis dengan mesin tik di atas kertas HVS. Aku langsung bisa nebak, surat itu dia bikin sendiri: “Bismillahirahmannirahiim. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan ini, dengan penuh perasaan, mengundang Milea Adnan untuk sekolah pada: Hari senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu”. Semua nama hari-hari itu, disertai dengan tanggal.
             
             Di dalam surat itu ada nama: Tuan Hamid Amidjaya. Itu Kepala sekolahku, sebagai orang yang turut mengundang. Di tiap sisi kertas, ada gambar hiasannya. Dibikin pake spidol. Gambarnya bagus. Entah bikinan siapa.
             
             Setelah kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak ingin pergi dari atas kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran karena ingin tahu siapa dia sebenarnya.
              
            Sambil tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang menerawang, memandang atap kamarku. Ketika ada terbayang wajahnya, langsung kupejamkan mataku, agar dengan begitu aku bisa mengusirnya, karena aku merasa itu gak perlu. Gak penting!
             
             Ah, sial. Itu hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan tugas nyuci sepatu. Segera kusimpan surat itu, di dalam laci meja belajar, sambil senyum-senyum sendirian, dan langsung pergi ke kamar mandi, menemui sepatuku.
             
             Kucuci sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya, dan berusaha kulupakan dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja kepikiran meskipun sesekali. Aduh, hai, siapa sih dia itu?
             
            Setahuku dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas denganku. Cuma itu. Itu saja. Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kenapa dia tidak memberitahu namanya di saat pertama jumpa itu? Haruskah aku yang nanya? Oh sori ya, gak mau!
             
             Kudengar telepon rumah berdering. Aku senang, karena itu dari Beni, pacarku di Jakarta. Dia satu sekolah denganku waktu masih di Jakarta, dan sekarang kami menjalin pacaran jarak jauh.
             
            Beniku keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak tampan-tampan amat, tapi cukup dan dia sangat baik. Ayahnya seorang artis film terkenal, yang kadang-kadang suka aku banggakan kepada ayah ibuku.
             
             Beni sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya. Meskipun sesekali suka bertengkar, tapi cuma masalah kecil, dan selalu bisa diselesaikan dengan baik. Hampir setiap hari, Beni selalu menelponku untuk melepas rasa rindu dan hal lain sebagainya. 
             
                                                                    (DELAPAN)
         
             Hari senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku berharap tidak ada satu pun orang tahu bahwa diam-diam mataku mencari dirinya, meskipun aku sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari. Mungkin cuma ingin lihat saja. Tidak lebih dari itu.
         
             Sampai upacara sudah mau selesai, orang itu, Peramal itu, tak berhasil kutemukan. Di mana dia? Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak sekolah? Aku tidak tahu. Ah, ngapain juga kupikirin! Emang siapa dia?
           
            Seorang guru, dengan menggunakan speaker, tiba-tiba, memberi komando, agar seluruh siswa jangan dulu bubar dari barisan. Kupandang ke depan karena ingin tahu ada soal apa gerangan, oh saat itulah aku bisa melihat dirinya.
           
             Dia di sana, di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya. Berdiri di sana karena dibawa oleh guru BP, setelah berhasil ditemukan dari tempatnya sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.
             
            Dia dan dua orang temannnya disebut Komunis oleh guru BP. Aku tidak mengerti apa sebabnya seseorang sampai disebut komunis hanya gara-gara tidak ikut upacara. Entahlah.
             
            Nun di sana, di tempatnya berdiri, aku yakin, dia sedang menyadari bahwa ada seseorang di tengah barisan peserta upacara, yang sedang memandangnya, yaitu diriku. Atau tidak?
             
           Tapi yang pasti, sebagaimana yang lain, aku sedang memandangnya dari jauh, dengan perasaan yang sulit kumengerti.
            “Dia lagi!”, bisik Revi seperti ngomong sendiri. Dia teman sekelas, yg berdiri di sampingku
            “Siapa dia?”, kutanya Revi
            “Dilan”
           
            “Oh”
            
              Dilan itu, adalah yang kemaren datang ke rumah, senyam-senyum depan pintu. Komunis itu, adalah yang pernah nyuruh si Piyan ngirim surat ke aku. Anak nakal itu, adalah yang kemaren sempat membuatku penasaran karena ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.
           
            Mendadak, hari itu, aku bagai malu sendiri bahwa aku pernah ada sangkut paut dengan dirinya. Mendadak, aku bagai menyesal karena sudah merasa terhibur oleh surat undangannya.
           
           Sampai-sampai kalau misal ada orang yang nanya, apakah Milea kenal Dilan? Aku yakin, aku akan langsung pura-pura tidak tahu. Apakah Milea teman Dilan? Entah mengapa segera akan langsung kujawab: Bukan. Aku hanya mengenal Beni, pacarku! Beniku baik dan tidak nakal, malahan guru-guru banyak yang suka kepadanya walau entah karena apa.
          
           Kata Rani, di kelas, setelah upacara, Dilan itu anak kelas 2 Fisika 1 dan anggota gengmotor yang terkenal di Bandung. Jabatannya Panglima Tempur. Oh ya ya. Aku sering membaca namanya ditulis di tembok-tembok pake pilox. Oh dia ternyata!
         
          Aku betul-betul jadi takut. Dia pasti sangat nakal, dan juga mungkin jahat. Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga. Lagi pun kalau benar dia begitu, mengapa juga harus takut, toh siapa pun dirinya, ayahku seorang tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.
       
           Pokoknya, mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha mendekati, meskipun tidak harus kasar kepadanya. Dan tidak perlu terlalu menanggapi apa pun yang ia lakukan padaku, jika hal itu adalah bagian dari usahanya untuk melakukan pendekatan.
      
           Kalau dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan minder setelah tahu siapa Beni. Dilan pasti akan mundur daripada harus kecewa karena cinta yang tak sampai.
           
                                                            (SEMBILAN)
     
          Bubar dari sekolah, cuaca mendung, aku pulang bersama kawan-kawan. Ada Dilan yang menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin dia pasti akan mengajak aku pulang bersamanya naik motor. Nyatanya tidak, padahal aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk bisa menolaknya.
      
           “Kamu pulang naik angkot?”
            Kujawab dengan anggukan. Entah mengapa, saat itu, aku seperti gak enak dilihat kawan-kawan sedang didekati oleh dia, si anak nakal.
            “Aku ikut….”
            “Ikut apa?”, tanyaku tanpa menoleh kepadanya, tapi bagian sudut mataku berusaha melihat ke arahnya.
            “Naik angkot”.
            “Gak usah”, jawabku sambil memandangnya sebentar
            “Kan angkot buat siapa aja”
            “Kamu kan naik motor?”
            “Nanti motorku dibawa kawan”
            “Eh?”
     
              Lalu dia pergi. Kutengok sebentar ke belakang, dia datang lagi dengan sedikit berlari. Aku tak ingin tahu disimpan di mana motornya. Itu bukan urusanku, termasuk kalau hilang.
       
              Di angkot, dia duduk di sampingku. Aku benar-benar jadi kikuk, dan juga mati gaya.
            “Ini hari pertama, aku duduk denganmu”
         
             Tidak kurespon, karena memang gak perlu. Kuambil buku, lalu kubaca. Mudah-mudahan bisa membantu mengalihkan pikiranku kepadanya. Mudah-mudahan bisa membantu membuat dia mengerti untuk jangan mengganggu orang yang sedang baca.
          
             Tapi dia berbisik, suaranya kudengar pelan sekali menyebut namaku:
            “Milea”
            Aku diam untuk tidak menanggapi.
            “Kamu cantik”, katanya lagi dengan suara yang pelan tanpa memandangku.
Heh? Aku kaget. Serius, hampir-hampir tak percaya dia akan bicara begitu. Aku bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa kawan-kawanku di angkot, tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku merasa seperti malu.
            “Makasih”, akhirnya kujawab sambil tetap baca buku, dengan intonasi yang datar, tanpa memandang dirinya. Dengan suara yang pelan bagai berbisik, kudengar dia bicara:
            “Tapi, aku belum mencintaimu…….Enggak tahu kalau sore”
Ih! Suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir. Aku diam, tidak mau merespon omongannya
            “Tunggu aja”, katanya lagi.
Betul-betul, saat itu, rasanya ingin teriak, tepat di kupingnya: Apa sih kamu ini?! Tapi tidak kulakukan. Aku memilih diam dan bersikap berusaha tidak akrab dengannya. Habis itu, dia juga diam.
            “Aku ramal, kamu akan segera tahu namaku”.
            Udah tahuuu! Gak usah diramal-ramal. Udah tahu! Tapi kujawab:
            “Iya”
           
             Ketika sudah sampai, aku turun dari angkot, dan langsung kaget, karena dia juga turun. Aku nyaris merasa kuatir dia akan mampir ke rumahku. Jika benar, aku akan langsung melarangnya. Jangan sampai terjadi!
             
             Syukurnya tidak. Dia pamit pergi, dan lalu nyebrang jalan, untuk naik angkot lagi, menuju arah sekolah. Aku ramal, dia ke sana pasti mau mengambil motornya.
           
            Tadi, sebelum dia pergi, dia sempat bilang:
           
            “Kamu tahu, Milea, semua siswa itu sombong?”
            “Kenapa?”, tanyaku.
            “Siapa yang mau datang ke ruang BP, menemui Pak Suripto? Cuma aku, Milea!”
            “Ooh!”, aku senyum, tapi sedikit.
             
             Ketika dia pergi, muncul perasaan bersalah sudah bersikap judes kepadanya. Pastilah dia sedih. Pastilah dia kesal. Dan besok, mungkin, dia kapok.
             
             Sesampainya di rumah, si Bibi memberiku surat. Itu surat yang terbungkus dalam amplop warna ungu. Oh, surat dari Beni!
             
                                                        (SEPULUH)
         
               Kubaca surat Beni sambil terus kepikiran soal Dilan yang mungkin hari ini sudah kecewa dengan sikapku. Apa salahnya dia, Milea? Mengapa hari ini kau begitu, padahal baru kemaren engkau tersenyum kepadanya dan sedikit terhibur oleh surat undangan yang dia berikan padamu?
          
            Aku simpan surat Beni, surat yang penuh kata-kata mendayu berisi melulu soal cinta dan rindu itu. Heran, biasanya aku senang, entah mengapa, hari itu, aku merasa seperti sedang berubah di dalam menilainya: Ah, Beni kurang asik! Maksudku, mungkin aku merasa bosan dengan dia yang terlalu monoton!
          
            Si Bibi ngetuk pintu, manggil, untuk nyuruh aku makan. Aku keluar dari kamar dengan isi kepala yang mulai dikacaukan oleh pikiran tentang  omongan Dilan di angkot tadi:
           
            “Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja”.
          
             Kata-kata aneh, yang sudah membuatku tersenyum dan yang terus nempel di kepalaku sampai malam harinya. Di kamar, tiba-tiba ku ketawa, dan teriak dalam hati, seolah-olah hal itu kutujukan padanya: Mau cinta mau enggak, dengar ya, hai kau yang bernama Dilan: Terseraaaaaahhh! Itu urusanmu! Emang gua pikirin!?
           
               Setelah usai shalat isya, aku dapat telepon dari Beni. Dia bicara lama sekali. Atau sebentar? Tapi entah mengapa aku merasa itu sangat lama. Dan katanya, dia mau ke Bandung, nanti, minggu depan.
             
             “Kamu senang?”, Beni nanya apakah aku senang jika dia ke Bandung menemuiku? Kujawab:
            “Iya”

           Memang, harusnya aku senang, Beni. Oke, kalau begitu, baiklah, aku akan berusaha untuk senang.

No comments:

Post a Comment