Gambaran sosok "Melia" |
Di
hari minggu, waktu sedang nyuci sepatuku, aku mendengar bel rumah berbunyi,
karena dipijit oleh tamu. Aku teriak manggil si Bibi untuk meladeni tamu itu.
Kebetulan,
hari itu, di rumah, hanya ada aku dan si Bibi. Ayah, ibu dan adik bungsuku
sedang pergi ke acara pernikahan saudara. Si Bibi bergegas nemui tamu dan lalu
balik kembali menemuiku:
“Tamu.
Mau ke Lia”, kata si Bibi. Lia itu nama panggilanku di rumah
Aku
bersihkan tanganku dari busa dan langsung ke sana, nemui tamu itu. Ya tuhan, aku kaget,
ternyata tamunya adalah dia: Sang Peramal. Aku senyum kepadanya yang tersenyum
kepadaku. Berasa seperti sedang terjadi kontak batin, antara aku dengannya,
membahas ramalannya yang benar-benar terjadi.
“Hei”
Kusapa dia.
“Ada undangan”, dia
langsung bilang begitu, seraya menyodorkan sebuah amplop sambil masih berdiri
di situ, di depan pintu.
“Undangan
apa?”, kupandangi amplop itu.
“Bacalah,
tapi nanti”
“Oke”
“Bacalah,
bahasa arabnya apa, Yan?” Dia nanya ke si Piyan yang datang bersamanya.
“Apa
ya?”, Piyan balik nanya
“Oh!
Iqra”, dia jawab pertanyaannya sendiri: “Iqra, Milea!”, katanya lagi.
“He
he he” Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja
kupandang matanya.
“Aku
langsung ya?”, dia permisi untuk pergi
“Kok
tahu rumahku?”, kutanya
“Aku
juga akan tahu kapan ulangtahunmu”
“He
he”
“Aku
pergi dulu ya?”
“Iya”
“Assalamualaikum
jangan?!”
“Assalamualaikum”
“Alaikumsalam”
“He
he he”
(TUJUH)
Aduh,
Tuhan, siapa sih dia itu! Maksudku, selain seorang Peramal, aku ingin tahu
siapa dia itu sesungguhnya, dan mengapa tadi aku harus gugup di depannya?
Aku
masuk kamar dan senyum sendiri terutama karena memikirkan soal ramalannya yang
benar. Tapi kenapa dia tidak membahasnya? Membahas soal ramalan? Atau sengaja?
Entahlah. Aku baca surat
undangan darinya sambil selonjoran di atas kasur.
Itu
adalah surat
undangan yang ditulis dengan mesin tik di atas kertas HVS. Aku langsung bisa
nebak, surat
itu dia bikin sendiri: “Bismillahirahmannirahiim. Dengan Rahmat Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Dengan ini, dengan penuh perasaan, mengundang Milea
Adnan untuk sekolah pada: Hari senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu”.
Semua nama hari-hari itu, disertai dengan tanggal.
Di
dalam surat itu
ada nama: Tuan Hamid Amidjaya. Itu Kepala sekolahku, sebagai orang yang turut
mengundang. Di tiap sisi kertas, ada gambar hiasannya. Dibikin pake spidol.
Gambarnya bagus. Entah bikinan siapa.
Setelah
kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak ingin pergi dari atas
kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran
karena ingin tahu siapa dia sebenarnya.
Sambil
tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang menerawang, memandang atap kamarku.
Ketika ada terbayang wajahnya, langsung kupejamkan mataku, agar dengan begitu
aku bisa mengusirnya, karena aku merasa itu gak perlu. Gak penting!
Ah,
sial. Itu hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan tugas nyuci sepatu. Segera
kusimpan surat
itu, di dalam laci meja belajar, sambil senyum-senyum sendirian, dan langsung
pergi ke kamar mandi, menemui sepatuku.
Kucuci
sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya, dan berusaha kulupakan
dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja kepikiran meskipun sesekali. Aduh,
hai, siapa sih dia itu?
Setahuku
dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas denganku. Cuma itu. Itu saja.
Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kenapa dia tidak memberitahu namanya di saat
pertama jumpa itu? Haruskah aku yang nanya? Oh sori ya, gak mau!
Kudengar
telepon rumah berdering. Aku senang, karena itu dari Beni, pacarku di Jakarta. Dia satu sekolah
denganku waktu masih di Jakarta,
dan sekarang kami menjalin pacaran jarak jauh.
Beniku
keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak tampan-tampan amat, tapi
cukup dan dia sangat baik. Ayahnya seorang artis film terkenal, yang
kadang-kadang suka aku banggakan kepada ayah ibuku.
Beni sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya.
Meskipun sesekali suka bertengkar, tapi cuma masalah kecil, dan selalu bisa
diselesaikan dengan baik. Hampir setiap hari, Beni
selalu menelponku untuk melepas rasa rindu dan hal lain sebagainya.
(DELAPAN)
Hari
senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku berharap tidak ada
satu pun orang tahu bahwa diam-diam mataku mencari dirinya, meskipun aku
sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari. Mungkin cuma ingin lihat saja. Tidak
lebih dari itu.
Sampai
upacara sudah mau selesai, orang itu, Peramal itu, tak berhasil kutemukan. Di
mana dia? Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak sekolah? Aku tidak tahu. Ah,
ngapain juga kupikirin! Emang siapa dia?
Seorang
guru, dengan menggunakan speaker, tiba-tiba, memberi komando, agar seluruh
siswa jangan dulu bubar dari barisan. Kupandang ke depan karena ingin tahu ada
soal apa gerangan, oh saat itulah aku bisa melihat dirinya.
Dia
di sana, di
depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya. Berdiri di sana karena dibawa oleh
guru BP, setelah berhasil ditemukan dari tempatnya sembunyi, untuk menghindar
ikut upacara bendera.
Dia
dan dua orang temannnya disebut Komunis oleh guru BP. Aku tidak mengerti apa
sebabnya seseorang sampai disebut komunis hanya gara-gara tidak ikut upacara.
Entahlah.
Nun
di sana, di
tempatnya berdiri, aku yakin, dia sedang menyadari bahwa ada seseorang di
tengah barisan peserta upacara, yang sedang memandangnya, yaitu diriku. Atau
tidak?
Tapi
yang pasti, sebagaimana yang lain, aku sedang memandangnya dari jauh, dengan
perasaan yang sulit kumengerti.
“Dia
lagi!”, bisik Revi seperti ngomong sendiri. Dia teman sekelas, yg berdiri di
sampingku
“Siapa
dia?”, kutanya Revi
“Dilan”
“Oh”
Dilan
itu, adalah yang kemaren datang ke rumah, senyam-senyum depan pintu. Komunis
itu, adalah yang pernah nyuruh si Piyan ngirim surat ke aku. Anak nakal itu, adalah yang
kemaren sempat membuatku penasaran karena ingin tahu lebih jauh tentang
dirinya.
Mendadak,
hari itu, aku bagai malu sendiri bahwa aku pernah ada sangkut paut dengan
dirinya. Mendadak, aku bagai menyesal karena sudah merasa terhibur oleh surat undangannya.
Sampai-sampai
kalau misal ada orang yang nanya, apakah Milea kenal Dilan? Aku yakin, aku akan
langsung pura-pura tidak tahu. Apakah Milea teman Dilan? Entah mengapa segera
akan langsung kujawab: Bukan. Aku hanya mengenal Beni,
pacarku! Beniku baik dan tidak nakal, malahan guru-guru banyak yang suka
kepadanya walau entah karena apa.
Kata
Rani, di kelas, setelah upacara, Dilan itu anak kelas 2 Fisika 1 dan anggota
gengmotor yang terkenal di Bandung.
Jabatannya Panglima Tempur. Oh ya ya. Aku sering membaca namanya ditulis di
tembok-tembok pake pilox. Oh dia ternyata!
Aku
betul-betul jadi takut. Dia pasti sangat nakal, dan juga mungkin jahat.
Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga. Lagi pun kalau benar dia
begitu, mengapa juga harus takut, toh siapa pun dirinya, ayahku seorang
tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.
Pokoknya,
mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha mendekati, meskipun
tidak harus kasar kepadanya. Dan tidak perlu terlalu menanggapi apa pun yang ia
lakukan padaku, jika hal itu adalah bagian dari usahanya untuk melakukan
pendekatan.
Kalau
dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan minder setelah
tahu siapa Beni. Dilan pasti akan mundur
daripada harus kecewa karena cinta yang tak sampai.
(SEMBILAN)
Bubar
dari sekolah, cuaca mendung, aku pulang bersama kawan-kawan. Ada Dilan yang
menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin dia pasti akan mengajak aku
pulang bersamanya naik motor. Nyatanya tidak, padahal aku sudah menyiapkan
berbagai alasan untuk bisa menolaknya.
“Kamu
pulang naik angkot?”
Kujawab
dengan anggukan. Entah mengapa, saat itu, aku seperti gak enak dilihat
kawan-kawan sedang didekati oleh dia, si anak nakal.
“Aku
ikut….”
“Ikut
apa?”, tanyaku tanpa menoleh kepadanya, tapi bagian sudut mataku berusaha
melihat ke arahnya.
“Naik
angkot”.
“Gak
usah”, jawabku sambil memandangnya sebentar
“Kan angkot buat siapa
aja”
“Kamu
kan naik
motor?”
“Nanti
motorku dibawa kawan”
“Eh?”
Lalu
dia pergi. Kutengok sebentar ke belakang, dia datang lagi dengan sedikit
berlari. Aku tak ingin tahu disimpan di mana motornya. Itu bukan urusanku,
termasuk kalau hilang.
Di
angkot, dia duduk di sampingku. Aku benar-benar jadi kikuk, dan juga mati gaya.
“Ini
hari pertama, aku duduk denganmu”
Tidak
kurespon, karena memang gak perlu. Kuambil buku, lalu kubaca. Mudah-mudahan
bisa membantu mengalihkan pikiranku kepadanya. Mudah-mudahan bisa membantu
membuat dia mengerti untuk jangan mengganggu orang yang sedang baca.
Tapi
dia berbisik, suaranya kudengar pelan sekali menyebut namaku:
“Milea”
Aku
diam untuk tidak menanggapi.
“Kamu
cantik”, katanya lagi dengan suara yang pelan tanpa memandangku.
Heh? Aku kaget. Serius, hampir-hampir tak percaya dia akan bicara begitu. Aku bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa kawan-kawanku di angkot, tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku merasa seperti malu.
Heh? Aku kaget. Serius, hampir-hampir tak percaya dia akan bicara begitu. Aku bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa kawan-kawanku di angkot, tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku merasa seperti malu.
“Makasih”,
akhirnya kujawab sambil tetap baca buku, dengan intonasi yang datar, tanpa
memandang dirinya. Dengan suara yang pelan bagai berbisik, kudengar dia bicara:
“Tapi,
aku belum mencintaimu…….Enggak tahu kalau sore”
Ih! Suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir. Aku diam, tidak mau merespon omongannya
Ih! Suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir. Aku diam, tidak mau merespon omongannya
“Tunggu
aja”, katanya lagi.
Betul-betul, saat itu, rasanya ingin teriak, tepat di kupingnya: Apa sih kamu ini?! Tapi tidak kulakukan. Aku memilih diam dan bersikap berusaha tidak akrab dengannya. Habis itu, dia juga diam.
Betul-betul, saat itu, rasanya ingin teriak, tepat di kupingnya: Apa sih kamu ini?! Tapi tidak kulakukan. Aku memilih diam dan bersikap berusaha tidak akrab dengannya. Habis itu, dia juga diam.
“Aku
ramal, kamu akan segera tahu namaku”.
Udah
tahuuu! Gak usah diramal-ramal. Udah tahu! Tapi kujawab:
“Iya”
Ketika
sudah sampai, aku turun dari angkot, dan langsung kaget, karena dia juga turun.
Aku nyaris merasa kuatir dia akan mampir ke rumahku. Jika benar, aku akan
langsung melarangnya. Jangan sampai terjadi!
Syukurnya
tidak. Dia pamit pergi, dan lalu nyebrang jalan, untuk naik angkot lagi, menuju
arah sekolah. Aku ramal, dia ke sana
pasti mau mengambil motornya.
Tadi,
sebelum dia pergi, dia sempat bilang:
“Kamu
tahu, Milea, semua siswa itu sombong?”
“Kenapa?”,
tanyaku.
“Siapa
yang mau datang ke ruang BP, menemui Pak Suripto? Cuma aku, Milea!”
“Ooh!”,
aku senyum, tapi sedikit.
Ketika
dia pergi, muncul perasaan bersalah sudah bersikap judes kepadanya. Pastilah
dia sedih. Pastilah dia kesal. Dan besok, mungkin, dia kapok.
Sesampainya
di rumah, si Bibi memberiku surat.
Itu surat yang
terbungkus dalam amplop warna ungu. Oh, surat
dari Beni!
(SEPULUH)
Kubaca
surat Beni
sambil terus kepikiran soal Dilan yang mungkin hari ini sudah kecewa dengan
sikapku. Apa salahnya dia, Milea? Mengapa hari ini kau begitu, padahal baru
kemaren engkau tersenyum kepadanya dan sedikit terhibur oleh surat undangan yang dia berikan padamu?
Aku
simpan surat Beni, surat yang penuh kata-kata mendayu berisi
melulu soal cinta dan rindu itu. Heran, biasanya aku senang, entah mengapa,
hari itu, aku merasa seperti sedang berubah di dalam menilainya: Ah, Beni kurang asik! Maksudku, mungkin aku merasa bosan
dengan dia yang terlalu monoton!
Si
Bibi ngetuk pintu, manggil, untuk nyuruh aku makan. Aku keluar dari kamar
dengan isi kepala yang mulai dikacaukan oleh pikiran tentang omongan
Dilan di angkot tadi:
“Milea,
kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja”.
Kata-kata
aneh, yang sudah membuatku tersenyum dan yang terus nempel di kepalaku sampai
malam harinya. Di kamar, tiba-tiba ku ketawa, dan teriak dalam hati,
seolah-olah hal itu kutujukan padanya: Mau cinta mau enggak, dengar ya, hai kau
yang bernama Dilan: Terseraaaaaahhh! Itu urusanmu! Emang gua pikirin!?
Setelah
usai shalat isya, aku dapat telepon dari Beni.
Dia bicara lama sekali. Atau sebentar? Tapi entah mengapa aku merasa itu sangat
lama. Dan katanya, dia mau ke Bandung,
nanti, minggu depan.
“Kamu
senang?”, Beni nanya apakah aku senang jika dia ke Bandung menemuiku? Kujawab:
“Iya”
Memang,
harusnya aku senang, Beni. Oke, kalau begitu,
baiklah, aku akan berusaha untuk senang.
No comments:
Post a Comment