Sunday, March 1, 2015

DILAN: DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1990 Bag 16-18


(Enam Belas)

Waktu bubar sekolah, Dilan nyusul dan bilang:
“Aku mau datang ke rumahmu. Malam ini”.
 
Hah?  Aku kaget.
 
“Jangan!”
 
“Kenapa?”
 
“Ayahku galak”
 
“Menggigit?”
 
“Serius”
 
“Aku tidak takut ayahmu”
 
“Jangan! Pokoknya jangan”
 
“Aku mau datang”, katanya, sambil berlalu.
 
“Jangan ih!”, tanpa sadar aku bicara agak teriak. Aku jadi merasa malu sambil kupandang ke banyak arah, berharap tak ada orang yang denger.

(Tujuh belas)

Aku belum ngantuk, masih terus ingin nulis. Suamiku masih juga belum pulang. Mick Jagger, bersama Rolling Stonesnya, sudah habis. Giliran Bob Dylan yang nyanyi. Sampai mana ceritanya?

Oh ya. Dilan datang! Benar-benar dia datang. Itu kira-kira pada pukul tujuh malam. Awalnya kudengar suara motor, masuk ke halaman rumahku. Aku yang sedang makan malam, langsung bisa yakin, tidak salah lagi, itu pasti Dilan.

Aku lekas masuk kamar bersama piring makan malamku dan bersama perasaan yang tidak karuan.

Biasanya ayahku jarang di rumah, sudah hampir tiga hari ini dia cuti. Malam itu, dia sedang ada di ruang tengah, sibuk membetulkan radio CB-nya. Ibuku juga di sana, sedang mencatat urusan kegiatan semacam Dharma Wanita, Bhayangkara atau apalah.

Jika bel rumah berbunyi, maka salah satu di antara merekalah yang akan membuka pintu. Menyambut Dilan, kalau benar tamu itu adalah Dilan. Ya, Tuhan, bisikku dalam hati. Kututup kepalaku dengan bantal sambil tiduran di kasur.

Entah siapa yang buka pintu, aku gak tahu. Pasti ada dialog di sana, tapi tidak bisa kudengar. Aku ingin tahu, Aku merasa akan lebih baik jika tetap diam di kamar. Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara motor itu, keluar dari halaman rumahku. Ya, jika itu Dilan, dia sudah pergi.

Dengan aneka macam pikiran yang memenuhi kepalaku, aku duduk di kursi belajarku, meneruskan makan malam sampai habis dan lalu keluar dari kamar untuk menyimpan piring makanku.

Selesai dari gosok gigi, pas aku mau kembali ke kamar, telepon rumahku berdering. Aku lebih dekat ke tempat telepon, sehingga aku yang ngangkat dan itu adalah telepon dari Dilan, buatku, untuk yang pertama kalinya.

Tidak usah ditanya bagaimana Dilan tahu nomor telepon rumahku. Kukira dia banyak akal.
 
“Hallo?”, kusapa yang nelepon
 
“Selamat malam”
 
“Malam”
 
“Bisa bicara dengan Milea?”
 
“Iya, saya”
 
“Oh. Aku Dilan”
 
“Hey”. Mendadak jantungku langsung deg-degan.
 
“Milea bisa bicara dengan aku?”
 
“Iya bisa”
 
“Tadi aku datang”
 
“Iya”
 
“Kau tahu?”
 
“Tahu”
 
“Kau tahu kenapa aku datang?”
 
“Kenapa?”
 
“Kalau aku gak datang, gara-gara kamu bilang ayahmu galak, berarti aku pecundang”
 
“Iya”
 
“Lebih baik aku datang. Kalau nanti dimarah, itu bagus, kamu akan kasihan ke aku”
 
“He he”.
 
“Kasihan gak?”
 
“Tadi dimarah?”
 
“Enggak”
 
“Syukurlah”
 
“Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur”
 
“Oh”
 
“Kenapa sekarang bisa ngomong? Kamu ngigau?”
 
“Iya”
 
“Ha ha ha ha ha”. Dilan ketawa

Sebenarnya aku juga ingin ketawa, tapi pasti kutahan. Boro-boro ketawa, bicaraku juga sebisa mungkin kubikin singkat-singkat. Entah mengapa, aku merasa ga enak, kuatir ayah dan ibu dengar. Seolah saat itu aku merasa bahwa mereka akan marah kalau tahu itu telepon dari Dilan, meskipun belum tentu mereka akan begitu.
Selesai nerima telepon, aku langsung ke kamar lagi. Sebelumnya ayahku nanya, telepon dari siapa, aku jawab dari Beni. Dan di kamar, selain kupakai untuk menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku kugunakan untuk memikirkan dialog terakhir dengan Dilan di telepon:
 
“Boleh aku meramal?”, Dilan nanya
 
“Iya”
 
“Iya apa?”
 
“Boleh”
 
“Aku ramal, nanti kamu akan menjadi pacarku!”
 
“He he he”
 
 “Percaya tidak?”
 
“Musyrik”
 
“Ha ha ha”
 
“He he he”
 
“Hey, Milea”
 
“Iya”
 
“Kau tahu kenapa aku tidak langsung jujur saja bilang ke kamu bahwa aku mencintaimu?”
 
“Enggak”
 
“Padahal kalau mau, aku bisa. Itu gampang”
 
“Terus? Kenapa?”
 
“Kalau langsung, gak seru. Terlalu biasa”
 
“He he he”
 
“Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang mengucapkan selamat tidur, dari jauh. Kamu ga akan denger”
 
“He he he”

Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan, haruskah terus terang, bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya pacar? Iya, kayaknya harus. Biar sejak itu, Dilan akan berhenti mengejarku.
Biar Dilan tidak akan lagi membuat kejutan-kejutan, yang kalau aku harus jujur, sebetulnya aku juga suka. Seru! Tidak, kayaknya tidak. Enggak usah aku bilang. Biarin saja. Aku merasa, sejak ada Dilan di dalam hidupku, ah, susah kukatakan dengan kata-kata.

Atau haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang di Bandung, satu sekolah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku? Kayaknya jangan, aku tahu Beni, jika kukatakan, justeru malah akan nambah masalah dari pada berusaha menyelesaikannya. Aduh, Beni, aku yakin kamu tidak akan bisa menolongku!

Lebih baik aku tidur. Di luar turun hujan. Kamu di mana sekarang, Dilan? Hati-hati kalau di jalan. Kututup mataku dengan bantal dan: “Selamat tidur juga, Dilan”

(Delapan belas)

Aku baru selesai dari kantin, bersama Nandan, Hadi dan Rani. Tak ada Dilan. Dia jarang ke kantin. Aku sendiri juga heran, kalau memang benar dia sedang mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin menemuiku? Kenapa lebih memilih kumpul bersama teman-temannya di warung bi Eem?

Kenapa tidak berusaha bisa duduk di kantin denganku. Bicara denganku, setidaknya dengan itu, aku bisa tahu langsung darimu, benarkah kamu suka nge-ganja seperti yang dikatakan oleh Nandan dan Dito? Benarkah kamu suka minum-minuman keras, seperti yang dikatakan oleh Nandan, Erfan dan Rani? Benarkah kamu playboy, punya banyak pacar, seperti yang dikatakan oleh Nandan?
Aku tidak bermaksud mau ikut campur urusanmu, Dilan. Siapalah aku ini. Tetapi rasanya hampir setiap hari aku selalu mendapat informasi yang buruk tentangmu. Aku ingin tidak percaya.

Tetapi jika memang itu benar, ya sudah, aku jadi tahu siapa dirimu dan bagaimana harusnya aku bersikap kepadamu, itu pilihanku. Kamu bukan pacarku, apa urusanku memikirkan dirimu, tapi aku tidak tahu, Dilan, mengapa aku ingin tahu.

Ah, Tuhan! Kenapa aku jadi begini?

No comments:

Post a Comment