Waktu bubar sekolah, Dilan nyusul dan bilang:
“Aku mau datang ke rumahmu. Malam ini”.
“Aku mau datang ke rumahmu. Malam ini”.
Hah? Aku kaget.
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Ayahku galak”
“Menggigit?”
“Serius”
“Aku tidak takut ayahmu”
“Jangan! Pokoknya jangan”
“Aku mau datang”, katanya, sambil berlalu.
“Jangan ih!”, tanpa sadar aku bicara agak teriak. Aku jadi merasa malu sambil
kupandang ke banyak arah, berharap tak ada orang yang denger.
(Tujuh belas)
Aku belum ngantuk, masih terus ingin nulis. Suamiku
masih juga belum pulang. Mick Jagger, bersama Rolling Stonesnya, sudah habis.
Giliran Bob Dylan yang nyanyi. Sampai mana ceritanya?
Oh ya. Dilan datang! Benar-benar dia datang. Itu
kira-kira pada pukul tujuh malam. Awalnya kudengar suara motor, masuk ke
halaman rumahku. Aku yang sedang makan malam, langsung bisa yakin, tidak salah
lagi, itu pasti Dilan.
Aku lekas masuk kamar bersama piring makan malamku
dan bersama perasaan yang tidak karuan.
Biasanya ayahku jarang di rumah, sudah hampir tiga
hari ini dia cuti. Malam itu, dia sedang ada di ruang tengah, sibuk membetulkan
radio CB-nya. Ibuku juga di sana,
sedang mencatat urusan kegiatan semacam Dharma Wanita, Bhayangkara atau apalah.
Jika bel rumah berbunyi, maka salah satu di antara
merekalah yang akan membuka pintu. Menyambut Dilan, kalau benar tamu itu adalah
Dilan. Ya, Tuhan, bisikku dalam hati. Kututup kepalaku dengan bantal sambil
tiduran di kasur.
Entah siapa yang buka pintu, aku gak tahu. Pasti
ada dialog di sana,
tapi tidak bisa kudengar. Aku ingin tahu, Aku merasa akan lebih baik jika tetap
diam di kamar. Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara motor itu, keluar dari
halaman rumahku. Ya, jika itu Dilan, dia sudah pergi.
Dengan aneka macam pikiran yang memenuhi kepalaku, aku
duduk di kursi belajarku, meneruskan makan malam sampai habis dan lalu keluar
dari kamar untuk menyimpan piring makanku.
Selesai dari gosok gigi, pas aku mau kembali ke
kamar, telepon rumahku berdering. Aku lebih dekat ke tempat telepon, sehingga
aku yang ngangkat dan itu adalah telepon dari Dilan, buatku, untuk yang pertama
kalinya.
Tidak usah ditanya bagaimana Dilan tahu nomor
telepon rumahku. Kukira dia banyak akal.
“Hallo?”, kusapa yang nelepon
“Selamat malam”
“Malam”
“Bisa bicara dengan Milea?”
“Iya, saya”
“Oh. Aku Dilan”
“Hey”. Mendadak jantungku langsung deg-degan.
“Milea bisa bicara dengan aku?”
“Iya bisa”
“Tadi aku datang”
“Iya”
“Kau tahu?”
“Tahu”
“Kau tahu kenapa aku datang?”
“Kenapa?”
“Kalau aku gak datang, gara-gara kamu bilang ayahmu galak, berarti aku
pecundang”
“Iya”
“Lebih baik aku datang. Kalau nanti dimarah, itu bagus, kamu akan kasihan ke
aku”
“He he”.
“Kasihan gak?”
“Tadi dimarah?”
“Enggak”
“Syukurlah”
“Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur”
“Oh”
“Kenapa sekarang bisa ngomong? Kamu ngigau?”
“Iya”
“Ha ha ha ha ha”. Dilan ketawa
Sebenarnya aku juga ingin ketawa, tapi pasti
kutahan. Boro-boro ketawa, bicaraku juga sebisa mungkin kubikin
singkat-singkat. Entah mengapa, aku merasa ga enak, kuatir ayah dan ibu dengar.
Seolah saat itu aku merasa bahwa mereka akan marah kalau tahu itu telepon dari
Dilan, meskipun belum tentu mereka akan begitu.
Selesai nerima telepon, aku langsung ke kamar lagi.
Sebelumnya ayahku nanya, telepon dari siapa, aku jawab dari Beni.
Dan di kamar, selain kupakai untuk menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku
kugunakan untuk memikirkan dialog terakhir dengan Dilan di telepon:
“Boleh aku meramal?”, Dilan nanya
“Iya”
“Iya apa?”
“Boleh”
“Aku ramal, nanti kamu akan menjadi pacarku!”
“He he he”
“Percaya tidak?”
“Musyrik”
“Ha ha ha”
“He he he”
“Hey, Milea”
“Iya”
“Kau tahu kenapa aku tidak langsung jujur saja bilang ke kamu bahwa aku
mencintaimu?”
“Enggak”
“Padahal kalau mau, aku bisa. Itu gampang”
“Terus? Kenapa?”
“Kalau langsung, gak seru. Terlalu biasa”
“He he he”
“Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang mengucapkan selamat tidur,
dari jauh. Kamu ga akan denger”
“He he he”
Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda
kebimbangan, haruskah terus terang, bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya
pacar? Iya, kayaknya harus. Biar sejak itu, Dilan akan berhenti mengejarku.
Biar Dilan tidak akan lagi membuat kejutan-kejutan,
yang kalau aku harus jujur, sebetulnya aku juga suka. Seru! Tidak, kayaknya
tidak. Enggak usah aku bilang. Biarin saja. Aku merasa, sejak ada Dilan di dalam
hidupku, ah, susah kukatakan dengan kata-kata.
Atau haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang
di Bandung,
satu sekolah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku? Kayaknya
jangan, aku tahu Beni, jika kukatakan, justeru
malah akan nambah masalah dari pada berusaha menyelesaikannya. Aduh, Beni, aku yakin kamu tidak akan bisa menolongku!
Lebih baik aku tidur. Di luar turun hujan. Kamu di
mana sekarang, Dilan? Hati-hati kalau di jalan. Kututup mataku dengan bantal
dan: “Selamat tidur juga, Dilan”
(Delapan belas)
Aku baru selesai dari kantin, bersama Nandan, Hadi
dan Rani. Tak ada Dilan. Dia jarang ke kantin. Aku sendiri juga heran, kalau
memang benar dia sedang mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin menemuiku?
Kenapa lebih memilih kumpul bersama teman-temannya di warung bi Eem?
Kenapa tidak berusaha bisa duduk di kantin
denganku. Bicara denganku, setidaknya dengan itu, aku bisa tahu langsung
darimu, benarkah kamu suka nge-ganja seperti yang dikatakan oleh Nandan dan
Dito? Benarkah kamu suka minum-minuman keras, seperti yang dikatakan oleh
Nandan, Erfan dan Rani? Benarkah kamu playboy, punya banyak pacar, seperti yang
dikatakan oleh Nandan?
Aku tidak bermaksud mau ikut campur urusanmu,
Dilan. Siapalah aku ini. Tetapi rasanya hampir setiap hari aku selalu mendapat
informasi yang buruk tentangmu. Aku ingin tidak percaya.
Tetapi jika memang itu benar, ya sudah, aku jadi
tahu siapa dirimu dan bagaimana harusnya aku bersikap kepadamu, itu pilihanku.
Kamu bukan pacarku, apa urusanku memikirkan dirimu, tapi aku tidak tahu, Dilan,
mengapa aku ingin tahu.
Ah, Tuhan! Kenapa aku jadi begini?
No comments:
Post a Comment