Sudah lama saya ingin menulis di komunitas blog. Selama
ini saya aktif menulis di blog keroyokan kompasiana milik kompas dengan akun
Ferry Abu Qaswa. Tulisan pertama di blog
baru saya ini, sebuah cerita inspiratif berjudul Raisa dan Rusa, selamat
menikmati.
***
“Tok Tok Tok”
“Assalamu’alaikum.”
Raisa yang baru pulang dari sekolah mengetuk pintu 3
kali dan mengucap salam di depan pintu.
“Wa’alaikum salam. Ehh, Putri Bunda yang paling
manis sudah pulang.” Sahut salam Bunda membuka pintu. Memuji putri
kesayangannya tersebut.
Masuk ke dalam rumah, segera Raisa melepas kaos kaki
dan sepatu. Memasukkan kaos kakinya ke dalam lubang sepatu. Kemudian meletakkan
kedua sepatu yang berwarna hitam itu ke dalam lemari sepatu.
Segera Raisa masuk ke kamarnya. Menggantung tas sekolahnya yang berwarna
merah muda di gantungan yang terletak di dinding kamar. Mengganti pakaian
seragam sekolah dengan pakaian sehari-hari. Rutinitas harian yang selalu
dikerjakan, Raisa setiap pulang sekolah.
Raisa tidak menyadari bahwa sedari tadi Bundanya
memperhatikannya terus. Mengikutinya sampai ke dalam kamar. Ada aneh dan janggal yang dilihat Bunda.
Wajah Raisa berbeda dari biasanya. Raisa yang biasa ceria dan selalu tersenyum,
hari ini wajahnya terlihat manyun dan sedikit ditekuk. Ada nada kesedihan di wajah tersebut.
“Kok wajahnya cemberut?” Selidik Bunda.
“Heheeeeeeeehe huk huk huk.” Raisa tidak menjawab,
hanya tangis sedihnya yang terdengar. Memeluk bundanya dengan erat. Bunda
biarkan Raisa menangis dalam pelukannya. Biarkan sesaat Raisa menumpahkan air
matanya.
“Cup cup cup. Ada
apa sayang?” Setelah tangis Raisa reda, Bunda berusaha menenangkan dan bertanya
lembut sesuatu yang membuat Raisa bersedih. Bunda mengusap lembut rambut Raisa
yang panjang.
“Bu Aida, Bun. Bu Aida tidak adil. Bu Aida pilih
kasih.” Kata Raisa, suaranya masih sengau disebabkan tangisnya tadi.
“Bu Aida tidak adil? Pilih kasih? Tidak Adil dan
pilih kasih apanya?” Tanya Bunda.
“Ya, Bu Aida tidak memilih saya sebagai wakil lomba
baca puisi antar SD yang sebentar lagi dilaksanakan. Bu Aida malah memilih
Ningrum dan Amel. Padahal aku lebih baik dari mereka berdua.” Raisa menumpahkan
kekesalannya. Menjelaskan kesedihannya.
“Pasti ada alasan tertentu. Mengapa Bu Aida memilih
Ningrum dan Amel dibanding kamu?”
“Gak ada alasan itu, Bun. Raisa. lebih baik dari
mereka. Seharusnya Raisa yang terpilih. Setiap tahun sejak kelas 2, 3 dan 4,
Raisya yang selalu terpilih menjadi wakil lomba baca puisi. Raisa rasa ada
sesuatu, sehingga Bu Aida tidak memilih Raisya tahun ini.”
“Tidak boleh menuduh yang bukan-bukan. Pasti Bu Aida
memiliki alasan, sehingga kamu tidak terpilih tahun ini.” Kata Bunda lembut.
“Raisya kesel dan mangkel, Bun. Raisa malu.” Raisa masih
tidak menerima keputusan Bu Aida.
“Kok malu? Apa yang harus Raisa malukan? Raisa tidak
mencuri atau menipu. Kalau Raisa mencuri atau menipu, baru Raisa malu.
Seharusnya Raisa berbesar hati. Bahwa ada yang lebih baik dari Raisa. Emang apa
sebabnya sih? Raisa ngotot banget pengen terpilih jadi wakil lomba baca puisi?”
Selidik Bunda.
“Raisa malu, Bun. Raisa sudah ngomong sama
teman-teman di kelas 5A dan kelas 5B, bahwa Raisa-lah yang akan mewakili lomba
baca puisi untuk anak-anak kelas 5. Saat seleksi diadakan, kenyataannya Raisa tidak
terpilih. Raisa jadi geer.”
“Masya Allah, Raisa. Berani-beraninya Raisa memastikan
sesuatu yang belum pasti terjadi. Itu namanya sombong. Bukankah kita pernah
dengar ceramah Ustad Maulana yang menyampaikan sabda Rasulullah, bahwa tidak
akan masuk surga manusia yang ada di hatinya ada kesombongan sebesar debu.”
“Maafin Raisa, Bunda. Raisa khilaf. Raisa ngaku
salah.”
“Ya, Bunda, Maafkan. Ke depannya Raisa mesti
hati-hati dalam bersikap. Apapun yang telah Allah tetapkan bagi Raisa patut
disyukuri. Raisa terpilih atau tidak sebagai wakil lomba baca puisi, harus
tetap bersyukur. Jika terpilih bersyukur. Tidak terpilih juga bersyukur. Bila Raisa
bersyukur, insya Allah akan Allah tambah kenikmatan itu.” Nasehat Bunda tentang
keutamaan bersyukur.
Raisa hanya menggangguk mendengar nasehat Bunda
tercintanya.
“Raisya tahu gak hewan rusa?” Bunda bertanya,
membuka topik pembicaraan yang baru.
“Tahu dong, Bunda. Hewan rusa adalah hewan berkaki
empat, perawakannya mirip kancil atau kambing, tapi memiliki ciri khas, ada
tanduk berbentuk seperti akar pohon di kepalanya.”
“100 untuk putri Bunda yang cerdas dan shalihah.
Raisa, mau dengar kisah tentangg rusa yang tidak bersyukur, gak?” Kata Bunda.
“Mau Bunda. Sudah lama Bunda tidak bercerita. Terakhir
Bunda bercerita ketika Raisa baru naik kelas 2 SD. Bunda bilang Raisa sudah
besar. Gak perlu lagi dibacakan cerita dongeng sebelum tidur.” Jawab Raisa setuju.
Bunda pun mulai bercerita
Ada
seekor rusa yang memisahkan diri dari kekawanannya, berjalan menyendiri. Si
rusa sedang berada di tepi sungai yang jernih. Saking jernih air sungainya,
benda apa saja yang di atas atau sekitar sungai akan membentuk bayangan di
sungai. Sungai menjadi cermin bagi benda di sekitarnya. Tampak Si rusa sedang
memandang bayangan dirinya di sungai. Memperhatikan seluruh lekuk tubuhnya,
dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Ya, Allah. Betapa elok tanduk yang Engkau berikan
kepada hamba. Bentuknya sangat indah dan menawan hati.” Gumam si rusa yang
sedang mengagumi tanduk di kepalanya.
Usai mengagumi bentuk tanduknya, pandangan si rusa
berpindah ke bawah memandang keempat kakinya. Memperhatikan bentuk kakinya.
“Ya. Allah. Sungguh tidak adil Engkau. Hamba yang
memiliki tanduk yang indah, sungguh tidak sepadan dengan bentuk kaki hamba yang
kecil. Mengapa tidak Engkau ciptakan kaki hamba besar? Supaya tampak serasi dan
kelihatan gagah dengan bentuk tanduk yang ada di kepala hamba.” Kata si rusa.
Kata-kata yang bernada tidak mensyukuri apa yang telah ditetapkan Allah
kepadanya.
Si rusa tidak menyadari sedari tadi ada harimau yang
mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya. Berusaha untuk menjadikan si rusa
menjadi santapan sang harimau. Mengendap perlahan-lahan sang harimau mendekati
si rusa. Berusaha menerkam.
“Jangan makan saya.” Teriak si rusa,s esaat
mengetahui sang harimau yang hendak menerkamnya. Si rusa lihat bayangan harimau
di sungai. Si rusa meloncat, menghindar dan berlari menjauh dari sang harimau
menuju hutan. Harimau yang merasa buruannya terlepas, berusaha mengejar Si
Rusa. Terjadi kejar-kejaran antara si rusa dan sang harimau. Namun si rusa
unggul. Ia melesat meninggalkan sang harimau.
Merasa telah meninggalkan jauh sang harimau dan juga
kelelahan, si rusa pun berhenti sebentar. Beristirahat di tengah hutan.
“Ya. Allah. Baru hamba menyadari mamfaat dari kaki
hamba yang kecil ini. Mampu berlari cepat dan lincah mendahului laju sang
harimau yang mengejar hamba. Maafkan hamba ya Allah.” Berkata si rusa di dalam
hati, menyadari kekeliruannya.
Belum lama si rusa beristirahat. Dari kejauhan
terlihat sang harimau sedang berlari hendak kembali menerkam dan menangkap si
rusa. Si rusa pun kembali berlari, menjauh dari sang harimau. Kejar-kejaran
terjadi lagi.
Sungguh malang,
tanduk rusa tersangkut ranting-ranting salah satu pohon di hutan. Lari si rusa
pun terhenti. Si rusa berontak, menggoyang-goyangkan kepalanya, berusaha
melepaskan tanduknya dari ranting. Namun tidak bisa.
Sang harimau semakin mendekat. Si rusa berusaha lagi
melepaskan tanduknya dari ranting. Kembali tidak bisa. Akhirnya pasrah si rusa
menerima nasibnya. Sang harimau menyeringai penuh kemenangan. Menerkam dan mencabik-cabik tubuh si rusa dengan kukunya
yang tajam. Si rusa pun tewas seketika. Menjadi santapan sang harimau.
“Kasihan ya si rusa, Bun.” Kata Raisa, usai Bunda
menyelesaikan ceritanya.
“Itulah hukum rimba anakku. Yang kuat menindas dan
memangsa yang lemah. Apa Raisa bisa mengambil pelajaran dari kisah rusa dan
harimau tadi?” Ujar Bunda.
“Gak, Bun.” Raisa menggelengkan kepalanya.
“Baik, Bunda jelaskan. Segala sesuatu yang kita
sukai dari apa yang telah ditetapkan Allah di diri kita, belum tentu itu
sesuatu yang baik bagi kita. Dan segala sesuatu yang tidak kita sukai dengan
apa yang telah ditetapkan Allah di diri kita, belum tentu itu sesuatu yang baik
bagi kita.” Kata Bunda.
“Seperti si rusa ya, Bun. Ia tidak menyukai
bentuknya kakinya yang kecil, namun kakinya itulah yang membuatnya mampu
berlari lincah dan cepat mendahului sang harimau. Tanduk di kepalanya yang ia
kagumi dan bangga-banggakan menjadi sesuatu yang mencelakakan bagi si rusa.”
“Benar. 100 lagi buat puteri Bunda yang cerdas.
Kisah si rusa dan dengan apa yang tengah di hadapi Raisya tentang wakil baca
puisi; Apa ada hubungannya?”
“Oh ya, Benar Bunda. Meski tidak terpilih sebagai
wakil baca puisi, mungkin ada hikmah tersembunyi yang Allah berikan kepada
Raisya. Terima kasih, Bunda atas nasehatnya. Atas kisah rusanya yang penuh
pelajaran.”
“Raisa sudah shalat zuhur?” Tanya Bunda.
“Belum.” Raisa menggelengkan kepala.
“Belum.” Raisa menggelengkan kepala.
“Ayo, shalat zuhur dulu! Bukankah shalat itu tiang
agama? Jika kita shalat, berarti kita telah mendirikan tiang agama. Jika kita
tidak shalat, maka kita telah meruntuhkan tiang tersebut.”
“Raisa. Shalat dulu ya, Bun! Ambil air wudu.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
***
No comments:
Post a Comment