Saturday, March 14, 2015

Rahasia Matematika 300 + 9 dalam Surah Al-Kahfi, Kisah Penghuni Goa





Dalam surah Al-Kahfi, di salah satu ayatnya ada keterangan tentang tertidurnya para penghuni gua (ashabul kahfi) yang dinyatakan berbentuk angka, yakni 'tiga ratus tambah sembilan' (300+9). 


Mengapa tidak langsung disebut 309 saja? Ternyata ada rahasianya. Rahasia keajaiban Alquran.

 
Tertidurnya para wali Allah itu, terjadinya sembilan tahun sebelum dan tiga ratus tahun setelah kelahiran nabi Isa a.s (antara -7SM--2M/awal-awal tahun masehi). Jadi, dibangunkan sekitar tahun 300M, 25 tahun sebelum konsili Nicea I, pertemuan pendeta dan rahib kristiani, pengangkatan nabi Isa a.s sebagai Tuhan.

Friday, March 13, 2015

Alhamdulillah, Bibi Penjaja Sayur Itu, Kini Berhijab




Tidak seperti PNS atau karyawan perusahaan lainnya, saya ngantor kerja jam sepuluh pagi. (Pekerjaan of the record :) )
 
Menunggu waktu kerja, biasanya saya nyantai di belakang rumah. Cari ide, nulis buat posting ke KBM, lanjutkan menulis proyek novel, memandang langit duha yang indah. Terkadang, pesawat lewat di atas langit belakang rumah. Tanpa malu dilihat tetangga, menjemur pakaian pun saya lakukan.
 
Saat nyantai di belakang rumah itu, setiap hari, saya lihat ada bibi penjaja sayur-mayur dan kebutuhan dapur lainnya, dengan bergerobak datang menjajakan dagangan. Di belakang rumah itu, ada beberapa rumah tetangga, dan kepada para ibu di rumah-rumah itu, si bibi menawarkan.
 
Bibi penjual sayur itu baru saja berjualan sekitar enam bulan yang lalu. Waktu awal-awal melihat dan beli dagangan si bibi, saya lihat penampilannya jauh dari disebut wanita muslimah yang semestinya menutup aurat. Celana selutut, baju kaos pendek.
 
Setiap hari saya usahakan membeli dagangan si bibi, meski harus gabung sama ibu-ibu dan cuma beli lima ribu rupiah. Beli bawang, cabe, atau kue-kue ringan.
 
Suatu waktu, hari Jumat, saya lihat penampilan si bibi lain. Ia memakai jilbab di kepala. Meski masih memakai kaos berlengan pendek.
 
"Wah, Bibi cantik, kalau begini." pujiku sopan, saat membeli bawang merah.
 
"Ini khusus hari Jumat." sahut si bibi.
 
"Coba setiap hari begini, Bi." kataku lagi, sambil berlalu pergi. Si bibi cuma tersenyum.
 
Alhamdulillah, hari-hari berikutnya si bibi selalu berjilbab saat berjualan. Bahkan tidak pakai kaos berlengan pendek lagi, selalu berlengan panjang.
 
Saya tidak tahu ibadah si bibi. Hanya Allah SWT yang Maha Tahu ketaqwaan seorang hamba. Namun, yang jelas kini ia selalu berhijab jika keliling jualan.
 
Saya pun tidak merasa bahwa dikarenakan pujian saya kemaren ia terus memakai hijab. Pasti hidayah Allah. Saya hanya bersikap santun kepada saudara muslim, ikhlas mengikrom (beli dagangan si bibi), dan sedikit nasehat hikmah, Alhamdulillah, lewat kesan positif itu, Allah jadikan cahaya hidayah kepada si bibi untuk terus berhijab.
 
Berdakwah bukan harus menjadi ahli agama dulu atau langsung bicara perkara agama ke manusia lainnya. Berpakaian islami pun termasuk dakwah. Orang akan teringat masjid, atau Allah, saat melihat seseorang yang berpakaian islami. Bersikap sopan-santun, meski hanya menyunggingkan senyum saat bertemu saudaranya juga termasuk dakwah. Berkepribadian muslim yang ramah, jujur, amanah, terpercaya, termasuk dakwah pula.

Sebab-sebab Kematian Membuat Lupa Sama Malaikat Maut (Sebab Kematian Manusia)

gambaran Malaikat Maut


"Kenapa meninggalnya?" sebuah pertanyaan paling banyak ditemukan, jika menghadapi meninggalnya seseorang.
 
"Oh, kata dokter, karena komplikasi jantung, ginjal dan paru-paru."
 
"Si bayi kurang giji."
 
"Karena tertabrak mobil."
 
"Dibunuh."
 
"Stroke."
 
"Serangan jantung."
 
"Kanker ini ..."
 
Dan sebab-sebab kematian lainnya.
 
# Manusia lupa, bahwa sebenarnya malaikat maut-lah yang mencabut ruh. Sedang, sebab-sebab kematian menjadikan manusia lupa akan sosok malaikat maut, sang pencabut nyawa.

Meneladani Ketaatan Iyash (Seorang Pemelihara Kuda Kerajaan)





Mungkin cerita ini banyak beredar di internet, karena saking terkenalnya. Namun, saya tulis kembali, sesuai memori ingatan yang pernah didengar.


Dulu, di sebuah kerajaan ada seorang pemelihara kuda istana yang bernama Iyash. Ia sangat disayangi Raja. Perhatian dan cinta sang raja melebihi para menteri dan pejabat tinggi istana lainnya, hingga membuat mereka iri dan cemburu kepada Iyash.
 
Pasti ada sikap dan sifat terpuji Iyash, yang menyebabkan sang raja sangat menyukainya.
Suatu hari Raja membuat semacam ujian (fit and profer test), sekalian pembuktian, mengapa sang raja menyayangi si pemelihara kuda kerajaan. Raja mengundang semua pejabat tinggi, para menteri, termasuk Iyash hadir dan berkumpul di istana.
 
Raja mengadakan jamuan. Masing-masing yang hadir dihidangkan satu buah jeruk. Semuanya diminta memakannya.
 
Saat mengunyah irisan pertama buah jeruk, semua wajah yang mencicipi, menunjukan ekspresi kekecutan. Buah jeruk yang dikunyah rasanya sangat asem. Sisa irisan jeruk tidak dimakan lagi, cuma sampai gigitan dan kecapan irisan pertama. Bahkan yang di dalam mulut dimuntahkan.
 
Ternyata Raja sengaja menghidangkan jeruk asem tersebut kepada semua orang yang diundangnya.
 
Namun berbeda bagi si Iyash. Ia terus mengunyah irisan demi irisan jeruk. Wajahnya senyam-senyum begitu menikmati.
 
Para menteri dan pejabat tinggi kerajaan heran dengan sikap Iyash. Berpendapat bahwa si pemelihara kuda itu sudah gendeng. Atau otaknya sudah tidak waras. Jeruk yang asem dan kecut dikunyahnya seolah-olah menikmati jeruk yang manis.
 

***
 
Berikutnya, Raja memberi masing-masing tamunya satu kalung emas bertahta permata indah yang harganya sangat mahal.
 
Namun selanjutnya, semua tamu yang hadir beropini, bahwa Raja ikut-ikutan gila kayak Iyash, yang sebelumnya keenakan menikmati jeruk asem. Sang Raja memberi lagi satu palu godam ke tamunya, dan meminta mereka memecah dan menghancurkan kalung permata. Karena merasa kalung mewah merupakan hadiah pemberian Raja dan merasa sayang, tak seorang tamu pun yang mengikuti titah raja. 


Namun hanya satu orang yang taat, yakni Iyash. Tanpa ragu dan tidak merasa kehilangan, si pemelihara kuda itu menghancurkan kalung hingga pecah berkeping-keping. 


***
 

Itulah gambaran seorang hamba dengan Tuhannya. Kecut, manis, asem, pedas, asin kehidupan adalah pemberian Allah. Seorang insan yang meyakini bahwa ia hanya seorang budak Tuhannya, akan selalu merasa gembira, syukur dan tidak protest atas segala pemberian Sang Maha Pencipta. 

 
Begitupula dengan segala perintah Tuhan. Mesti menaati perintahnya dalam setiap saat dan keadaan. Meskipun perintah itu terasa pahit dan bertentangan dengan hati. Dan meskipun, perintah tersebut, diharuskan menjauhi sesuatu yang indah dan menyenangkan.
 

***



Sunday, March 1, 2015

Sinopsis Novel “RINDU” Karya Darwis Tere Liye



Rindu adalah persembahan Tere Liye di tahun 2014 yang betul-betul dirindukan. Rindu merupakan buku ke-20 karya pengarang produktif tersebut. Semua karya-karyanya memiliki ciri khas dan cita rasa yang berbeda. Namun bagi saya, Rindu adalah karya yang tak pernah terbayangkan.

Saya tidak habis pikir, lagi-lagi Tere Liye menyuguhkan tema yang tidak biasa. Menurut saya, ide penulisan novel Rindu belum pernah ada di dunia perbukuan Indonesia. Sederhana, tidak muluk-muluk, tapi segar. Novel ini tentang perjalanan panjang jamaah haji Indonesia tahun 1938. Tentang kapal uap Blitar Holland. Tentang sejarah nusantara. Dan tentang pertanyaan-pertanyaan seputar masa lalu, kebencian, takdir, cinta, dan kemunafikan.

Ditulis dengan alur maju, memudahkan pembaca mengikuti jalan cerita. Namun di beberapa bagian, penulis menyuguhkan cerita-cerita lain dalam bentuk dialog, yang berkorelasi pada kisah yang tengah disajikan. Membuat pembaca mengenal secara utuh racikan cerita di novel ini, sehingga setting novel yang didominasi aktifitas penumpang di kapal Blitar Holland, tidak terasa membosankan.

Gaya kepenulisan novel Rindu terbilang sederhana. Membumi. Disisipi dialog bahasa Belanda, yang meski tidak disertakan artinya, pembaca terbantu memahami maksud kalimat dengan deskripsi yang ditulis Tere Liye.

“Mag ik uw kaatje, Meneer?” Salah satu kelasi bertanya sopan, persis saat Gurutta menginjak dek kapal, menanyakan tiket dan dokumen perjalanan. (hal. 35)

Novel ini dibuka dengan mukadimah yang unik. Tere Liye menukil fakta sejarah nusantara di tahun 1938. Salah satunya, Indonesia (yang masih bernama Hindia Belanda) mengikuti Piala Dunia di Prancis untuk pertama kalinya. Seterusnya, sosok kapal uap yang akan menjadi saksi seluruh cerita di novel setebal 544 ini mulai digambarkan penulis. Untuk kemudian, Tere Liye menghadirkan satu persatu tokoh-tokoh dalam novel ini.

Konon, novel yang baik adalah yang membuat pembaca jatuh cinta atau simpati terhadap tokoh-tokoh yang diciptakan penulisnya. Di novel Rindu, saya merasakan hal tersebut. Memang tidak pada semua tokoh utama,  bahkan, saya pribadi tidak terlalu jatuh hati dengan tokoh yang pertama kali dimunculkan Tere Liye, yaitu Daeng Andipati. Bukan apa-apa, hanya saja tokoh dengan karakter seperti Daeng Andipati ini sudah “banyak ditemukan”. Seperti yang digambarkaan Tere Liye, Daeng Andipati adalah pedagang muda dari Makassar, kaya raya, pintar dan baik hati (hal.11)

Daeng Andipati adalah penumpang Blitar Holland yang mengikutsertakan istri, kedua anaknya, serta seorang pembantu. Sosoknya berkarismatik, terpandang, digambarkan dekat dengan orang-orang Belanda. Sekilas, kehidupan Daeng Andipati nampak sempurna. Kebahagiaan seolah meliputinya sepanjang waktu. Istri yang cantik dan salehah, dua anak yang periang dan menggemaskan, juga karir bisnis yang menjanjikan. Namun ada satu hal yang tersembunyi di dada Daeng Andipati. Membuat seluruh kehidupan Daeng Andipati seolah tidak berarti. Adalah kebencian Daeng Andipati terhadap ayahnya.

“…Karena jika kau kumpulkan seluruh kebencian itu, kau gabungkan dengan orang-orang yang disakiti ayahku, maka ketahuilah, Gori. Kebencianku pada orang tua itu masih lebih besar. Kebencianku masih lebih besar dibandingkan itu semua!” (hal. 362)

Mencermati hubungan Daeng Andipati dengan ayahnya, kita seolah diajak menoleh kenyataan di sekitar kita. Betapa terkadang kebencian itu bisa lahir dari dua orang yang seharusnya terikat cinta. Ini adalah hal menarik yang diangkat Tere Liye dalam novel Rindu. Kabar baiknya, pertanyaan tentang kebencian itu memiliki jawaban yang mendamaikan. Sehingga siapapun pembaca yang mengalami hal serupa, bisa mengambil sikap terbaik. Seperti biasa, cara Tere Liye menyisipkan pesan-pesan pencerahan selalu sederhana, tidak menggurui. Namun tepat sasaran.

Tokoh lain yang menghiasi perjalanan panjang kapal Blitaar Holland adalah dua kakak beradik, Anna dan Elsa. Dua kanak-kanak ini memberi kesan dan warna tersendiri dalam novel Rindu. Saya membayangkan, novel Rindu ini pasti akan terasa berat tanpa kehadiraan Anna dan Elsa. Sementara Tere Liye, sudah sangat terampil menggambarkan karakter anak-anak dalam novel-novelnya. Saya sungguh jatuh cinta dengan Anna dan Elsa. Polos, periang, dan menggemaskan. Tere Liye memberikan porsi yang banyak untuk cerita mereka. Semakin menegaskan, bahwa kanak-kanak tidak pernah terlepas dari kehidupan kita. Kehadiran mereka adalah penghiburan. Dunia pasti terlihat membosankan tanpa sosok mereka. Ini sekaligus menjadi nilai lebih novel Rindu, ide tentang anak-anak yang menyertai orang dewasa pergi haji hampir tidak pernah disinggung dalam cerita manapun.

Hal baru dari novel Rindu ini adalah kemunculan tokoh ulama. Ini istimewa, karena di novel yang lain, Tere Liye belum pernah mengambil karakter seorang ulama. Yang ada di benak kita bila disebut kata ulama, tentu terbayang sosok manusia dengan seluruh kesempurnaan ilmu dan adab. Begitu juga dengan Ahmad Karaeng, seseorang yang dipanggil Gurutta itu digambarkan sebagai ulama yang sempurna. Berilmu. Beradab. Bahkan empat dari lima pertanyaan besar di novel Rindu terjawab sempurna dari lisannya yang bijak.
Namun Gurutta bukan ulama biasa. Ia ulama bersahaja, yang rendah hati, dicintai banyak orang karena tinggi budinya. Sikapnya terbuka pada siapapun. Mau membaur dengan orang-orang yang jauh kapasitas keilmuannya. Bahkan Gurutta akrab dengan orang-orang Belanda di kapal Blitar Holland, duduk satu meja dengan Chef Lars, berbincang santai dengan Ruben si Boatswain, dan melibatkan diri pada urusan-urusan penting selama di kapal bersama Kapten Phillips. Lain dari itu, saya sangat terkesan dengan hubungan Gurutta dengan Anna dan Elsa. Sesuatu yang jarang kita dapati, ulama besar namun begitu memuliakan anak-anak, begitu menghargai keberadaan mereka. Menyindir kita yang terkadang menganggap anak-anak itu merepotkan, menyebalkan, dan stigma negatif lainnya. Padahal, Rasulullaah sendiri sudah mencontohkan sikap terbaik beliau terhadap anak-anak.

Ada banyak hal menarik pada sosok Ahmad Karaeng. Namun diluar semua kelebihannya, Ahmad Karaeng tetaplah manusia biasa. Dia bahkan menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang begitu dia khawatirkan. Sesuatu yang mengganggu batinnya.

Lihatlah kemari wahai gelap malam. Lihatlah seorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaannya sendiri.
Lihatlah ke mari wahai lautan luas. Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri. (hal. 316)

Seperti biasa, tema cinta tak akan pernah lepas dari novel dengan genre apapun. Dalam novel Rindu, Tere Liye juga menghadirkan tokoh yang berhasil membuat saya jatuh cinta, sepasang pasutri sepuh dari Semarang. Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet. Diantara ribuan penumpang kapal Blitar Holland, merekalah pasangan paling sepuh. Sekaligus paling romantis.

“Pendengaranku memang sudah tidak bagus lagi, Nak. Juga mataku sudah rabun. Tubuh tua ini juga sudah bungkuk. Harus kuakui itu.  Tapi aku masih ingat kapan aku bertemu istriku. Kapan aku melamarnya. Kapan kami menikah. Tanggal lahir semua anak-anak kami. Waktu-waktu indah milik kami. Aku ingat itu semua.” (hal. 205)

Tere Liye seakan berpesan kepada pembaca—terutama kawula muda, bahwa contoh konkret cinta sejati adalah pasangan yang sudah berpuluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Bukan kawula muda yang bergaul bebas, tanpa komitmen, dan melanggar begitu banyak rambu-rambu agama atas nama cinta. Sayangnya, ada hal yang membuat dada sesak dalam perjalanan cinta mereka. Sesuatu yang kemudian menjadi salah satu pertanyaan besar dalam novel ini.

Tema cinta juga datang dari tokoh pemuda bernama Ambo Uleng. Si kelasi pendiam yang suka berdiam diri menatap jendela bundar di kabin. Meski Tere Liye baru membeberkan dibalik kemisteriusan Ambo Uleng di halaman 483, sebenarnya pembaca sudah bisa menebak apa yang sesungguhnya terjadi dengaan pemuda itu.  
“Aku hanya ingin meninggalkan semuanya, Kapten.” (hal. 33)

Ambo Uleng merupakan tokoh dengan karakter yang juga berhasil membuat saya jatuh hati. Banyak sifat baik Ambo Uleng yang bisa dijadikan teladan. Keinginannya belajar mengaji salah satunya, tidak masalah meski harus belajar dengan Anna, si gadis kecil yang pernah ia tolong dalam sebuah peristiwa besar di Surabaya. Kecerdasan dan kecakapan Ambo uleng menyertai beberapa adegan heroik di novel ini. Namun yang paling berkesan, lima dari empat pertanyaan besar di novel ini—yang datang dari seseorang yang selalu memberikan jawaban, justru lahir dari sosok Ambo Uleng. Pertanyaan yang bukan dari penjelasan lisan atau tulisan, tapi dengan perbuatan tangan. (hal. 540)

Tokoh terakhir dari tokoh-tokoh sentral dalam novel Rindu adalah Bonda Upe. Guru mengaji anak-anak di kapal Blitar Holland ini membuat saya jatuh simpati. Tere Liye menggambarkan suasana batin Bonda Upe dengan sempurna. Siapapun yang membaca, seolah dapat merasakan sesuatu yang terpendam di dada perempuan itu. Sesak, gelisah, pun saat-saat ia menemukan secercah cahaya yang membuatnya bisa memandang hidupnya dengan perasaan lapang. Menariknya, Bonda Upe adalah warga keturunan China dan Muslim. Sesuatu yang mungkin masih menjadi hal yang asing pada saat itu.

“Ma, kalau Bonda Upe itu orang China, kenapa dia Islam?”

“Koh Acan di Kampung Butung juga Islam, apanya yang aneh?” (hal.108)

Dalam perjalanannya ke Tanah Suci, Bonda Upe membawa pertanyaan besar. Berkitan dengan masa lalunya sebagai cabo. Ada pelajaraan penting yang bisa diambil dari kehidupan Bonda Upe. Salah satunya adalah nilai ketulusan seorang Enlai, suami Bonda Upe.

“Dia tulus menyemangatimu, tulus mencintaimu. Padahal, dia tahu persis kau seorang cabo. Sedikit sekali laki-laki yang bisa menyayangi seorang cabo. Tapi Enlai bisa, karena dia menerima kenyataan itu. Dia peluk erat sekali. Dia bahkan tidak menyerah meski kau telah menyerah. Dia bahkan tidak berhenti meski kau telah berhenti. (hal. 312-313)

Bukan hanya berisi tokoh-tokoh yang menarik. Novel Rindu, meski hanyalah potret perjalanan ke Tanah Suci di atas kapal uap milik Belanda, novel ini juga menyajikan beragam konflik yang tidak pernah terduga. Diantaranya tragedi penyerangan kapal oleh bajak laut dari Somalia, kapal yang terancam terkatung-katung di laut lepas, seseorang yang mencoba membunuh Daeng Andipati, serta kasus yang membuat Gurutta dipenjara di sel kapal Blitar Holland.

Tere Liye, dalam novel ini, sekaligus menyinggung beberapa isu, diantaranya seputar toleransi beragama. Dikisahkan dalam perjalanan dari Kolombo menuju Jeddah, para kelasi mengadakan perayaan Natal. Sebagaimana yang terjadi di masyarakat tentang polemik Natal bersama dan mengucapkan selamat Natal. Dalam sebuah dialog antara Daeng Andipati dengan Anna, Tere Liye menegaskan makna toleransi dari sudut pandang yang lain.

“…tanpa menghadiri acara itu, kita tetap menghormati mereka dengan baik, sama seperti Kapten Philips yang sangat menghormati agama kita. Pun tanpa harus mengucapkan selamat, kita tetap bisa saling menghargai. Tanpa perlu mencampur adukkan hal-hal yang sangat prinsipil di dalamnya.” (hal. 499)

Di bagian yang lain, Tere Liye juga mengkritisi tentang kisah-kisah takhayul serta beragam pemberitaan hoax yang berceceran di media-media. Di mana diantara kaum Muslimin menelan mentah-mentah berita seputar bayi lahir dengan Al-Quran kecil, bayi lahir bisa bicara, ada asma Allah di awan, dan lain-lain sehingga mereka lupa bahwa mukjizat paling besar ada di rumah mereka. Diletakkan di lemari, di meja, dibiarkan berdebu tanpa pernah dibaca. (hal. 394)

Keberagaman tema dalam novel Rindu diperkaya dengan sosok dua guru yang hebat dan kreatif. Bapak Mangoenkoesoemo dan Bapak Soerjaningrat, dua guru terbaik dari Surabaya. Saya—yang berprofesi sebagai guru, banyak mendapat inspirasi dari potongan-potongan dalam novel yang mengambarkan kegiataan belajar mengajar anak-anak di kapal Blitar Holland. Saya yakin, pembaca lain yang juga berprofesi guru, akan mendapat kesan serupa.

Saya sempat tertipu mengikuti alur cerita dalam novel ini. Atau mungkin saya yang terlalu berburu-buru mengambil kesimpulan. Adalah adegan di mana ada “sesuatu” yang selalu menguntit Gurutta saat melewati lorong-lorong kapal di malam hari. Tere Liye, meski dengan gaya bahasa simpel, berhasil menciptakan atmosfir “horor”. Berhubung saya tidak suka dengan cerita-cerita makhluk halus dan sebagainya, saya sempat sensi. Protes. Kenapa Tere Liye harus menuliskan adegan horor-horor begini? Setelah tiba di halamaan berikut-berikutnya, saya akhirnya bisa bernafas lega. Alhamdulillah, ekspektasi saya keliru :-)
Novel Rindu tidak hanya bercerita tentang perjalanan panjang ke Tanah Suci. Dengan beragam tragedi, konflik, dan serangkaian peristiwa yang menyertainya. Novel ini semakin berbobot dengan cuplikan sejarah di beberapa daerah yang dijadikan setting. Saya seolah-olah bisa merasakan suasana kota Surabaya zaman lampau, naik trem listriknya. Berjalan-jalan di kota Banten, menyaksikan orang-orang pribumi berbaur dengan orang Belanda. Termasuk merasakan suasana kota Kolombo, berkeliling menaiki kereta sapi.
Sesampai di akhir novel—tiba di bagian prolog, saya anggap sudah tidak ada kejutan dari Tere Liye. Ending beberapa tokoh nyaris bisa ditebak. Namun lagi-lagi saya terpeleset. Novel ini, meski sekilas tidak memiliki konflik yang berat, yang menuntut penyelesaian. Rupanya memiliki bagian yang membuat saya tersentak. Ibarat film, selalu menjadi berkesan jika memiliki twist. Dan twist itu ada di novel ke-20 Tere Liye ini.
Untuk sampul buku, saya hanya ingin komentar, “Tumben, untuk sampul novel Rindu Tere Liye tidak mengadakan survey.” Biasanya Tere Liye melibatkan pembaca dalam pemilihan sampul (meski tidak semua buku). Dan menurut saya, sampul novel Rindu sudah cukup mewakili isi novelnya—meski bagi saya tidak begitu istimewa. Yang saya suka dari sampul novel Rindu adalah pemilihan warnanya. Meski begitu, sampul karya EMTE ini harus saya akui, berhasil membuat orang penasaran menyelami isi bukunya. Oya, saat menulis resensi ini, saya mendapat info di fanpage Tere Liye, novel Rindu sudah naik cetak 4 kali (di bulan pertama terbit). Nampaknya, buku ini memang persembahan spesial Tere Liye. Karya yang dirindukan di penghujung tahun 2014.

Akhirnya, novel Rindu ini menjadi bacaan dengan ide yang baru dan segar. Tema perjalanan haji di zaman lampau akan menyisakan kesan tersendiri. Selain itu, pembaca nampaknya akan dibuat jatuh cinta dengan tokoh-tokoh di dalamnya. Dan yang tak kalah penting, ada sesuatu pemahaman baru yang terekam. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati kita.



MAU LIHAT PAK SOEKARNO LAGI DANSA, INI FOTONYA ----> 
FOTO SOEKARNO LAGI DANSA (1)  
FOTO PRESIDEN SOEKARNO LAGI DANSA SAMA ISTRI ASAL JEPANG: DEWI





Judul Buku: Rindu

Penulis: Tere Liye

Editor: Andriyanti

Penerbit: Republika Penerbit

Jumlah Halaman: 544 halaman

Tahun Terbit: Oktober 2014

Sinopsis by : Thuluw Muhlis Romdloni

Sumber : kompasiana.com

DILAN: DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1990 Bag 16-18


(Enam Belas)

Waktu bubar sekolah, Dilan nyusul dan bilang:
“Aku mau datang ke rumahmu. Malam ini”.
 
Hah?  Aku kaget.
 
“Jangan!”
 
“Kenapa?”
 
“Ayahku galak”
 
“Menggigit?”
 
“Serius”
 
“Aku tidak takut ayahmu”
 
“Jangan! Pokoknya jangan”
 
“Aku mau datang”, katanya, sambil berlalu.
 
“Jangan ih!”, tanpa sadar aku bicara agak teriak. Aku jadi merasa malu sambil kupandang ke banyak arah, berharap tak ada orang yang denger.

(Tujuh belas)

Aku belum ngantuk, masih terus ingin nulis. Suamiku masih juga belum pulang. Mick Jagger, bersama Rolling Stonesnya, sudah habis. Giliran Bob Dylan yang nyanyi. Sampai mana ceritanya?

Oh ya. Dilan datang! Benar-benar dia datang. Itu kira-kira pada pukul tujuh malam. Awalnya kudengar suara motor, masuk ke halaman rumahku. Aku yang sedang makan malam, langsung bisa yakin, tidak salah lagi, itu pasti Dilan.

Aku lekas masuk kamar bersama piring makan malamku dan bersama perasaan yang tidak karuan.

Biasanya ayahku jarang di rumah, sudah hampir tiga hari ini dia cuti. Malam itu, dia sedang ada di ruang tengah, sibuk membetulkan radio CB-nya. Ibuku juga di sana, sedang mencatat urusan kegiatan semacam Dharma Wanita, Bhayangkara atau apalah.

Jika bel rumah berbunyi, maka salah satu di antara merekalah yang akan membuka pintu. Menyambut Dilan, kalau benar tamu itu adalah Dilan. Ya, Tuhan, bisikku dalam hati. Kututup kepalaku dengan bantal sambil tiduran di kasur.

Entah siapa yang buka pintu, aku gak tahu. Pasti ada dialog di sana, tapi tidak bisa kudengar. Aku ingin tahu, Aku merasa akan lebih baik jika tetap diam di kamar. Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara motor itu, keluar dari halaman rumahku. Ya, jika itu Dilan, dia sudah pergi.

Dengan aneka macam pikiran yang memenuhi kepalaku, aku duduk di kursi belajarku, meneruskan makan malam sampai habis dan lalu keluar dari kamar untuk menyimpan piring makanku.

Selesai dari gosok gigi, pas aku mau kembali ke kamar, telepon rumahku berdering. Aku lebih dekat ke tempat telepon, sehingga aku yang ngangkat dan itu adalah telepon dari Dilan, buatku, untuk yang pertama kalinya.

Tidak usah ditanya bagaimana Dilan tahu nomor telepon rumahku. Kukira dia banyak akal.
 
“Hallo?”, kusapa yang nelepon
 
“Selamat malam”
 
“Malam”
 
“Bisa bicara dengan Milea?”
 
“Iya, saya”
 
“Oh. Aku Dilan”
 
“Hey”. Mendadak jantungku langsung deg-degan.
 
“Milea bisa bicara dengan aku?”
 
“Iya bisa”
 
“Tadi aku datang”
 
“Iya”
 
“Kau tahu?”
 
“Tahu”
 
“Kau tahu kenapa aku datang?”
 
“Kenapa?”
 
“Kalau aku gak datang, gara-gara kamu bilang ayahmu galak, berarti aku pecundang”
 
“Iya”
 
“Lebih baik aku datang. Kalau nanti dimarah, itu bagus, kamu akan kasihan ke aku”
 
“He he”.
 
“Kasihan gak?”
 
“Tadi dimarah?”
 
“Enggak”
 
“Syukurlah”
 
“Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur”
 
“Oh”
 
“Kenapa sekarang bisa ngomong? Kamu ngigau?”
 
“Iya”
 
“Ha ha ha ha ha”. Dilan ketawa

Sebenarnya aku juga ingin ketawa, tapi pasti kutahan. Boro-boro ketawa, bicaraku juga sebisa mungkin kubikin singkat-singkat. Entah mengapa, aku merasa ga enak, kuatir ayah dan ibu dengar. Seolah saat itu aku merasa bahwa mereka akan marah kalau tahu itu telepon dari Dilan, meskipun belum tentu mereka akan begitu.
Selesai nerima telepon, aku langsung ke kamar lagi. Sebelumnya ayahku nanya, telepon dari siapa, aku jawab dari Beni. Dan di kamar, selain kupakai untuk menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku kugunakan untuk memikirkan dialog terakhir dengan Dilan di telepon:
 
“Boleh aku meramal?”, Dilan nanya
 
“Iya”
 
“Iya apa?”
 
“Boleh”
 
“Aku ramal, nanti kamu akan menjadi pacarku!”
 
“He he he”
 
 “Percaya tidak?”
 
“Musyrik”
 
“Ha ha ha”
 
“He he he”
 
“Hey, Milea”
 
“Iya”
 
“Kau tahu kenapa aku tidak langsung jujur saja bilang ke kamu bahwa aku mencintaimu?”
 
“Enggak”
 
“Padahal kalau mau, aku bisa. Itu gampang”
 
“Terus? Kenapa?”
 
“Kalau langsung, gak seru. Terlalu biasa”
 
“He he he”
 
“Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang mengucapkan selamat tidur, dari jauh. Kamu ga akan denger”
 
“He he he”

Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan, haruskah terus terang, bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya pacar? Iya, kayaknya harus. Biar sejak itu, Dilan akan berhenti mengejarku.
Biar Dilan tidak akan lagi membuat kejutan-kejutan, yang kalau aku harus jujur, sebetulnya aku juga suka. Seru! Tidak, kayaknya tidak. Enggak usah aku bilang. Biarin saja. Aku merasa, sejak ada Dilan di dalam hidupku, ah, susah kukatakan dengan kata-kata.

Atau haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang di Bandung, satu sekolah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku? Kayaknya jangan, aku tahu Beni, jika kukatakan, justeru malah akan nambah masalah dari pada berusaha menyelesaikannya. Aduh, Beni, aku yakin kamu tidak akan bisa menolongku!

Lebih baik aku tidur. Di luar turun hujan. Kamu di mana sekarang, Dilan? Hati-hati kalau di jalan. Kututup mataku dengan bantal dan: “Selamat tidur juga, Dilan”

(Delapan belas)

Aku baru selesai dari kantin, bersama Nandan, Hadi dan Rani. Tak ada Dilan. Dia jarang ke kantin. Aku sendiri juga heran, kalau memang benar dia sedang mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin menemuiku? Kenapa lebih memilih kumpul bersama teman-temannya di warung bi Eem?

Kenapa tidak berusaha bisa duduk di kantin denganku. Bicara denganku, setidaknya dengan itu, aku bisa tahu langsung darimu, benarkah kamu suka nge-ganja seperti yang dikatakan oleh Nandan dan Dito? Benarkah kamu suka minum-minuman keras, seperti yang dikatakan oleh Nandan, Erfan dan Rani? Benarkah kamu playboy, punya banyak pacar, seperti yang dikatakan oleh Nandan?
Aku tidak bermaksud mau ikut campur urusanmu, Dilan. Siapalah aku ini. Tetapi rasanya hampir setiap hari aku selalu mendapat informasi yang buruk tentangmu. Aku ingin tidak percaya.

Tetapi jika memang itu benar, ya sudah, aku jadi tahu siapa dirimu dan bagaimana harusnya aku bersikap kepadamu, itu pilihanku. Kamu bukan pacarku, apa urusanku memikirkan dirimu, tapi aku tidak tahu, Dilan, mengapa aku ingin tahu.

Ah, Tuhan! Kenapa aku jadi begini?