Gembosnya Ban Dalam Sepeda Motor Kepala
Sekolah
Hari Rabu. Tiga hari sebelum buku raport para pelajar dibagikan, SMA Budi
Utomo dihebohkan
suatu peristiwa, gembosnya ban dalam sepeda motor Pak Soedirman Kepala Sekolah.
Ada orang yang
menggembosi dengan benda tajam dan runcing sepertinya menggunakan paku.
Peristiwanya terjadi ketika final lomba tarik tambang antara
kelas XII-IPS1 dan kelas XII-IPA4. Lomba tarik tambang merupakan lomba paling
bergengsi di antara berbagai program class
meetin2 yang diadakan oleh SMA Budi Utomo demi mengisi waktu
kosong belajar setelah selesainya ulangan tengah semester dan sebelum buku
raport dibagikan. Selain class meeting, waktu kosong pelajaran juga dimamfaatkan
untuk kegiatan remedial bagi pelajar yang nilai ulangannya di bawah
standar.
Semua mata tertuju ke final tarik tambang tersebut, baik
guru-guru, para staf sekolah dan semua siswa-siswi. Hingga terjadinya
penggembosan ban dalam sepeda motor Pak Soedirman. Pelaku penggembosan tidak
ada yang melihat kecuali dua orang siswa, yakni Amin dan Ramadhan. Itupun
yang mengetahui bahwa Amin dan Ramadhan melihat pelakunya adalah Bu Sri.
Sepeda motor Pak Soedirman berada di parkiran sepeda
motor para guru yang letaknya dekat dengan kamar kecil siswa. Kebetulan secara
bersamaan, Amin dan Ramadhan kebelet pipis. Mereka masuk
dan keluar kamar kecil juga hampir bersamaan. Ketika
mereka keluar melihatlah peristiwa penggembosan tersebut.
Sedangkan Bu Sri tidak ikut menyaksikan pertandingan tarik
tambang, beliau berada di dalam ruangan kelas XI-IPS6, sedang
mengisi buku raport para muridnya yang beberapa hari lagi akan
dibagikan. Letak kelasnya sekitar 50 meter dari parkiran sepeda motor para
guru. Bu Sri keluar kelas untuk membuang beberapa sampah kertas yang tidak
terpakai ke kotak
sampah yang berada di luar kelas. Jarak kotak sampah sekitar 30 meter dari parkiran sepeda
motor para guru.
Usai Bu Sri
memasukkan sampah dan mau kembali masuk ke dalam kelas, tidak sengaja Bu Sri melihat
juga peristiwa penggembosan tersebut. Namun, dikarenakan jarak Bu Sri cukup jauh
dengan para pelakunya, Bu Sri tidak bisa dengan jelas melihat
wajah mereka. Pelakunya setelah melakukan penggembosan
langsung melarikan diri dengan menutup wajah.
Meskipun Bu Sri tidak secara jelas melihat wajah para
pelaku, Bu Sri tahu pelaku penggembosan ada dua orang. Dilihat
dari ciri-ciri mereka, pelakunya kemungkinan besar siswa SMA Budi Utomo sendiri.
“Hayo jawab siapa pelakunya!? Kalian pasti
mengetahui siapa mereka. Melihat
wajah mereka. Karena kalian paling dekat dengan mereka.” Bu
Sri mendekati Amin dan Ramadhan langsung
bertanya di lokasi kejadian.
“Kami tidak
tahu, Bu.” Jawab Amin dan Ramadhan
serentak, setelah sebelumnya mereka saling bertatapan
seolah-olah berbicara dengan hati,
kemudian menyahut dengan
jawaban yang sama.
“Iya, Bu. Kami tidak tahu siapa
mereka, karena mereka menutup wajahnya dengan tangan.” Ramadhan berusaha menjelaskan.
“Akh alasan. Tidak mungkin kalian tidak tahu.
Kalian mau melindungi kedua pelaku tersebut. Karena mereka teman kalian. Sekali
lagi ibu bertanya, bila kalian tetap tidak
mau menjawab! Kalian akan saya laporkan Pak Soedirman, supaya kalian dihukum dengan berat. Ayo jawab!
Siapa kedua pelaku tersebut?”
“Benar, Bu. Kami benar-benar
tidak tahu.” Amin dan Ramadhan kompak menjawab.
“Baik. Kalian berdua tetap tidak mau menyebut siapa pelakunya. Kalian akan saya laporkan Pak Soedirman, supaya kalian dipanggil. Sekarang kalian boleh
kembali ke kelas!”
Besok paginya, Amin dan
Ramadhan langsung dipanggil dan menghadap Pak Soedirman di ruang kerja beliau.
“Bapak tanya kalian
baik-baik! Siapa pelaku penggembosan ban dalam sepeda
motor Bapak? Mohon kalian jawab!” Tanya Pak Soedirman lembut.
Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Amin dan Ramadhan, mereka hanya menundukkan kepala dan mengelengkan kepala, menandakan bahwa mereka tidak
tahu.
“Dusta, Pak! Mereka sangat
dekat dengan pelakunya pada saat kejadian. Ketika kedua orang tersebut
menggembosi ban dalam sepeda motor Bapak. Jadi mustahil mereka
tidak tahu.” Bu Sri yang duduk di samping Pak Soedirman ikut berbicara.
“Bapak tanya sekali lagi! Siapa pelakunya? Bila tidak!? Bapak akan beri suatu hukuman kepada kalian berdua. Hayo jawab!” Nada bicara Pak Soedirman meninggi.
Amin dan Ramadhan sikapnya tetap sama. Tetap tidak
ada satupun kata-kata keluar dari mulut mereka. Kembali mereka menundukkan kepala dan menggelengkan kepala, tanda bahwa mereka tidak mau menjawab atau tidak tahu.
“Baik. Kalau begitu, kalau kalian tidak mau menjawab. Sehabis libur sekolah, sekitar sepuluh harian lagi, Di hari pertama masuk sekolah. Bapak akan mengadakan sidang
istimewa yang akan dihadiri oleh semua pelajar, semua guru dan semua
staf di sekolah ini untuk hadir di sidang tersebut. Tidak ada upacara bendera pada hari itu. Bapak harapkan kalian mau
untuk menjawab siapa pelaku penggembosan ban dalam sepeda motor Bapak. Kalau kalian mau
menjawab kalian selamat. Bila tidak kalian akan dihukum.
”Tapi bukan saya yang menentukan kalian bersalah
atau tidak. Dan bukan saya yang
menentukan hukuman apa yang akan kalian dapatkan, jika kalian tidak mau
menjawab. Yang menentukan adalah
dewan guru yang terdiri dari 13 orang. Dalam sidang
tersebut kalian boleh ditemani oleh orang tua, wali murid atau siapa saja untuk mendampingi kalian di persidangan. Sekarang kalian boleh keluar dari ruangan ini! Selamat bertemu di hari sidang istimewa tersebut.” Pak Soedirman berbicara agak keras dan sedikit emosi, karena Amin dan
Ramadhan tidak mau menjawab dan memberitahukan siapa pelaku penggembosan sepeda
motor beliau.
Amin dan Ramadhan berjalan keluar dari ruangan kepala
sekolah dengan wajah lesu dan berjalan menunduk lemah. Ramadhan mempercepat
langkahnya menuju kelas meninggalkan Amin, tanpa menyapa atau berkata satu
patah katapun kepada Amin. Ramadhan dan Amin memang beda kelas. Amin kelas XI-IPA3,
sedangkan Ramadhan kelas XI-IPA5.
Amin disambut dua sahabat karibnya, Satrio dan
Abdurrahman. Mereka setia menunggu, sejak awal Amin masuk ruangan kerja Pak
Soedirman. Menunggu dengan perasaan
cemas dan khawatir.
“Ada apa, Min? Kok kamu dipanggil Kepala Sekolah?” Tanya Satrio penasaran.
“Masalah sepeda motor Pak Soedirman kemaren yang
digembosi orang. Aku dan
Ramadhan ditanya siapa pelakunya, karena saat kejadian kami dianggap menyaksikan dan mengetahui siapa
pelakunya.”
“Terus. Kamu sebutkan pelakunya?” Tanya Satrio
lagi.
“Tidak.”
“Emang kamu tahu siapa pelakunya?” Abdurrahman
juga ikut bertanya penasaran.
“Kalau yang itu aku tidak mau menjawabnya,
Man.” Jawab Amin pelan.
“Ramadhan
bagaimana? Dia sebut siapa pelakunya?” Satrio kembali bertanya.
“Tidak. Dia juga bungkam.”
“Terus. Masalah penggembosan Pak Soedirman ini, sudah
selesai atau belum? Kamu dan Ramadhan mendapat hukuman dari Pak Soedirman?”
Satrio mencerca Amin dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Masalahnya
belum selesai. Aku dan Ramadhan juga belum dihukum Pak Soedirman.” Jawab Amin.
“Tindakan Pak Soedirman terhadap masalah ini?”
Selidik Satrio.
“Pak Soedirman akan mengadakan sidang istimewa
yang dihadiri semua siswa-siswi, guru-guru dan para
perangkat sekolah. Aku dan Ramadhan
yang akan di sidang. Kami diminta mau menyebutkan siapa pelaku penggembosan
sepeda motor beliau. Di sidang tersebut, kami boleh didampingi orang tua atau
wali siswa atau siapa saja boleh sebagai pendamping.” Jelas Amin
“Kapan waktunya?”
“Hari pertama masuk sekolah, setelah liburan
tengah semester.”
“Aduh, masalahnya sampai segitunya. Harus sidang
istimewa segala. Kalau kamu dan Ramadhan tidak menyebut pelakunya, apa
sangsinya?”
“Kami akan dihukum berat, bahkan bisa dikeluarkan
dari sekolah ini. Kecuali kami mau menyebutkan siapa pelakunya.”
“Kalau begitu sebut saja pelakunya di sidang
istimewa nanti! Kalau kamu memang tahu pelakunya.”
‘’Kalau itu aku menunggu sidang istimewa saja, Sat.’’
‘’Ayo kita masuk kelas! Kayaknya Pak Yusuf, wali kelas kita sudah ada di kelas untuk memberi
pengarahan.’’ Abdurrahman
memperingatkan Satrio dan Amin yang serius ngobrol.
Mereka berlari kecil menuju kelas XI-IPA3, kelas
mereka yang jaraknya sekitar 60 meter dari dari ruangan kepala sekolah.
Abdurrahman
yang berada di depan, berlari
terbalik menghadap Satrio dan Amin yang berlari di belakang. Abdurrahman mengejek
mereka berdua. Kesepuluh jari
tangan ditarik-tarik ke depan
dada seolah-olah memberi isyarat agar
mereka berdua mengejarnya. Karena berlari terbalik Abdurrahman tidak menyadari
di depannya ada Mang Udin pesuruh
sekolah yang membawa nampan berisi beberapa gelas minuman dan kue-kue.
Hampir saja Abdurrahman menabrak Mang Udin, kalau saja Mang Udin tidak gesit menghindar dengan cara melompat.
“Et et et et et eiiiiiit. Hati-hati, dong!” Teriak Mang
Udin sambil melompat ke samping kiri. Hampir saja nampan yang dibawanya
terjatuh. Untung saja, Mang
Udin bisa menjaga keseimbangan.
Abdurrahman
berhenti. Kedua telapak tangannya disatukan dan disilangkan di depan wajah. Ia menganggukkan kepala dan wajahnya ke atas
dan ke bawah berkali-kali,
sambil berkata, “Maaf, Mang tidak lihat. Maaf ya, Mang Udin yang
ganteng. Paling baik dan cakep
sedunia.”
“Ya, Sudah. Ayo kembali ke kelas! Belajar!”
Satrio dan
Amin tertawa terbahak-bahak
melihat kejadian tersebut. Mereka pun
kini meninggalkan Abdurrahman di belakang. Sambil berlari kecil mereka mengejek
Abdurrahman dan serentak
berkata, “Ayo, Abdurrahman! Sekarang
kamu yang kejar kami. Ha Ha Ha Ha Ha.”
“Eh jangan
tinggalkan aku. Tunggu!”
***
ket : ini novel naskahnya pernah ditolak oleh Bentang Pustaka, semoga pembaca online tidak menolak untuk sekedar membacanya.