Monday, June 2, 2014

DILAN: DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1990 Bag 1-5

Lukisan "Dilan"

 

             Terlebih dulu penulis meminta maaf kepada penulis aslinya (Pidi Baiq), karena lewat blog-nya membocorkan sebagian cerita Novel DILAN: DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1990, karya ayah Surayah Pidi Baiq, novel tentang percintaan anak SMA tahun 1990 yang terjadi di kota yang disebut kota Parisnya Indonesia yakni kota Bandung. Cerita datanya diambil dari seorang blogger.

Inilah ceritanya ….
                                                              (SATU)
         
             Namaku Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi baru selesai makan jeruk. Nama belakangku, diambil dari nama ayahku. Seseorang yang aku kagumi, dan dia adalah TNI Angkatan Darat yang bertugas di Kodiklat. Dia lahir di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
             Sejak kecil aku tinggal di Jakarta, yaitu di daerah kawasan Slipi. Tahun 1990 ayahku dipindah tugas ke Bandung, sehingga ibuku, aku, adik bungsuku, pembantuku, dan semua barang-barang di rumah pun jadi pada ikut pindah.
             Rumahku, yang di Buah Batu, adalah milik Kakekku, Bapak Abidin, yaitu ayah dari ibuku. Tapi Kakek sudah meninggal pada bulan Mei tahun 1989. Di rumah itu, jadi cuma ada nenek, karena ibuku adalah anak tunggal.
            Khabar bahwa kami mau pindah ke Bandung, membuat nenek sangat senang dan meminta kami untuk tinggal di rumahnya. Tapi sayang, tahun 1990, kira-kira sebulan sebelum pindah, nenekku meninggal dunia.
            Rumah yang berukuran type 70 itu, kemudian jadi milik ibuku sepenuhnya. Ada halaman di depannya, meskipun ukurannya tidak luas, tapi cukup. Tempat tumbuh berbagai bunga dan satu pohon jambu, yaitu jambu batu, yang ibuku suka kesel kalau sudah mulai banyak ulatnya.
             
                                                               ( DUA)
      
            Aku juga pindah sekolah, ke SMA Negeri yang ada di Bandung. Bagiku, itu adalah sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau enggak, minimal se-Asia lah. Bangunannya sudah tua, peninggalan Belanda, tapi masih bagus karena keurus.
            Ada tumbuh pohon besar di halaman sekolah. Cabangnya banyak dan bagus kalau dilihat senja hari, dan juga siang, kalau mendung, dan juga pagi, kalau mau. Sebagian orang percaya pohon itu berhantu, tapi aku gak takut, kecuali kalau harus tidur sendirian malam hari di situ.
            Dulu, jalan di depan sekolahku, cuma jalan biasa, lebarnya kira-kira tiga meter dan belum banyak kendaraan yang lewat, termasuk angkot. Sehingga untuk bisa sampai di sekolah, aku harus mau berjalan sepanjang kira-kira 200 meter, yaitu setelah aku turun dari angkot di daerah pertigaan jalan itu.
            Sekarang jalan itu, sudah berubah, sudah jadi jalan raya yang dipadati oleh banyak kendaraan. Dulu, motor juga belum banyak. Hanya beberapa orang saja yang pake. Sebagian besar bepergian dengan angkot atau bemo.
            Rasanya, waktu itu, Bandung masih sepi, belum begitu banyak orang. Setiap pagi masih suka ada kabut dan hawanya cukup dingin, seperti menyuruh orang untuk memakai sweater atau jaket kalau punya.
            Selain romantis, sekolah itu adalah tempat yang banyak menyimpan  kenangan. Terutama menyangkut dengan seseorang yang sangat aku cintai, yang pernah selalu mengisi hari-hariku di masa lalu, yang malam ini, ingin kuceritakan kepadamu.
            Akan aku tulis semuanya sesuai dengan apa yang terjadi, meskipun tidak begitu detail, tapi itulah intinya. Ada nama tempat dan nama orang yang sengaja kusamarkan, untuk tidak merembet menjadi suatu persoalan dengan pemilik tempat dan orang yang bersangkutan.
            Semua, akan kutulis dengan menggunakan cara si dia di dalam bergaya bahasa. Entah gaya apa, pokoknya, kalau dia bicara pun, bahasa Indonesianya cenderung agak baku. Kedenger sedikit tidak lazim, seperti bahasa melayu lama yang biasa digunakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi itu bukan hal yang harus dipersoalkan, ini cuma sekedar agar bisa sekaligus mengenang khas dari dirinya.
            Sebelumnya, aku mau cerita dulu di mana posisiku sekarang. Malam ini aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling Stones, di kawasan Jakarta Pusat, di rumah yang aku tempati bersama suamiku sejak tahun 1997.
            Malam ini, tanggal 11 September tahun 2010. Anakku sudah tidur. Dia lelaki dan masih berusia 10 tahun. Sedangkan suamiku, dia belum pulang, katanya ada kerjaan kantor yang membuat dia harus lembur.
Mari kita mulai, dan inilah ceritanya:
                                                            
                                                (TIGA)
        
             Pagi itu, di Bandung, pada bulan September, tahun 1990, setelah turun dari angkot, aku jalan menuju sekolahku sebagaimana yang lainnya yang juga sama begitu. Bedanya, aku jalan sendirian, yang lain ada yang berdua atau lebih.
            Dari arah belakang, aku mendengar suara motor. Suaranya agak berisik dan yang bisa kuingat di masa itu, belum begitu banyak siswa yang pergi sekolah dengan memakai motor.
            Ketika motor itu sudah mulai sejajar denganku, jalannya melambat. Seperti sengaja ingin menyamai kecepatanku berjalan. Pengendaranya menggunakan seragam SMA
            Meskipun saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku tetap waspada, kuatir barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku. Dia bertanya:
            “Selamat pagi”
            “Pagi”, kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar
            “Kamu Milea, ya?”
            “Eh?”, kutoleh dia, memastikan barangkali aku kenal dirinya. Nyatanya tidak, lalu kujawab: “Iya”
            “Boleh gak aku meramal?”
            “Meramal?”, Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok meramal? Kok bukan kenalan?
            “Iya. Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin”.
            Dia pasti ngajak becanda. Aku gak mau. Tapi aku tidak tahu harus jawab apa. Hanya bisa senyum, mungkin itu cukup, sekedar untuk berbasa-basi. Jangan judes juga. Iya.
            Asli, aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Mungkin satu sekolah denganku, tapi aku belum mengenal semua siswa di sekolahku, termasuk dirinya. Aku hanya murid baru. Baru dua minggu.
            “Mau ikut?”, dia nanya
            “Makasih”, jawabku. Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Kupandang dia, sebentar: “Udah deket”, lanjutku.
            “Oke”, katanya, “Suatu hari, Milea, kamu akan naik motorku. Percayalah”
Aku diam, karena gak tahu aku harus bilang apa
            “Duluan ya!”, katanya.
            Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata “iya”. Habis itu, dia berlalu, memacu motornya. Nampak baju seragamnya berkelabatan, kalau guru tahu, pasti akan disuruh dimasukin ke celana.
                                                           
                                                                (EMPAT)

            Waktu istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan untuk memenuhi ramalan anak itu. Boro-boro, kepikiran juga enggak. Aku hanya ingin membeli sesuatu untuk kuminum. Tapi Nandan, teman sekelas, Ketua Murid kelas 2 Biologi 3, minta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada yang mau dibahas.
            Dia bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar dia saja yang beli. Makasih kataku, dan memang, dia lalu pergi, ke kantin. Tak lama dia kembali, membawa beberapa teh kotak.
            Di kelas, selain Nandan, ada juga Rani dan Agus, semuanya teman sekelas. Hal yang dibahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk aku menjadi sekertaris, dan juga sekaligus menjadi bendahara kelas 2 Biologi 3. Aku sih oke saja. Bagiku, gampang lah itu.
            Waktu kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang permisi dan lalu masuk ke kelas. Nandan, Rani dan juga Agus, tahu siapa dia. Namanya Piyan, siswa dari kelas 2 Fisika 1, datang memberiku surat, katanya itu surat titipan dari kawannya, tapi tidak disebut nama kawannya.
            Dengan sedikit rasa heran, setelah Piyan berlalu, kubaca surat itu:
“Milea, ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi aku mau meramal lagi: Besok kita akan ketemu
            Aku langsung bisa tahu siapa yang ngirim surat. Ini pasti dia, orang yang tadi pagi naik motor dan bilang mau meramal. Nandan nanya, dia ingin tahu surat apa, aku bilang cuma surat biasa.
            Surat itu, segera kulesakkan dalam tas sekolah, untuk kembali menyimak Nandan yang banyak bicara tentang ini itu yang menurutku membosankan. Tapi aku sudah tidak bisa lagi konsentrasi dengan kata-kata mereka. Pikiranku, entah mengapa, sebagian besar, mendadak melayang kepada Sang Peramal.
                                                         
                                                                      (LIMA)
          
            Hari itu hujan, aku pulang dijemput pamanku. Dia itu adik dari ayahku, mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi swasta, namanya Fariz. Dia sudah lama di Bandung dan kost di daerah Setiabudi. 
            Ayah nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah dinas ayahku, karena ada sedikit keperluan. Di jalan pulang, entah mengapa, ramalan orang itu: bahwa besok akan bertemu, terus saja kepikiran.
            Apa? Besok? Hah, besok bertemu? Bukankah besok itu hari minggu? Aku langsung bisa nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi. Bagaimana bisa bertemu, kalau tidak di sekolah? Dia, ah, cuma tukang ramal amatir!
            Bagiku, tak lebih, dia hanya anak nakal, yang suka iseng menggoda cewek. Huh! Jika itu baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia harus tahu aku orangnya selektif.

No comments:

Post a Comment