Lukisan "Dilan" |
Terlebih dulu penulis meminta maaf kepada penulis aslinya (Pidi Baiq), karena lewat blog-nya membocorkan sebagian cerita Novel DILAN: DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1990, karya ayah Surayah Pidi Baiq, novel tentang percintaan anak SMA tahun 1990 yang terjadi di kota yang disebut kota Parisnya Indonesia yakni kota Bandung. Cerita datanya diambil dari seorang blogger.
Inilah ceritanya ….
(SATU)
Namaku
Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi baru selesai
makan jeruk. Nama belakangku, diambil dari nama ayahku. Seseorang yang aku
kagumi, dan dia adalah TNI Angkatan Darat yang bertugas di Kodiklat. Dia lahir
di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera
Barat.
Sejak
kecil aku tinggal di Jakarta, yaitu di daerah kawasan
Slipi. Tahun 1990 ayahku dipindah tugas ke Bandung, sehingga
ibuku, aku, adik bungsuku, pembantuku, dan semua barang-barang di rumah pun
jadi pada ikut pindah.
Rumahku,
yang di Buah Batu, adalah milik Kakekku, Bapak Abidin, yaitu ayah dari ibuku.
Tapi Kakek sudah meninggal pada bulan Mei tahun 1989. Di rumah itu, jadi cuma
ada nenek, karena ibuku adalah anak tunggal.
Khabar bahwa kami mau pindah ke Bandung, membuat nenek sangat senang dan
meminta kami untuk tinggal di rumahnya. Tapi sayang,
tahun 1990, kira-kira sebulan sebelum pindah, nenekku meninggal dunia.
Rumah
yang berukuran type 70 itu, kemudian jadi milik ibuku sepenuhnya. Ada halaman di depannya,
meskipun ukurannya tidak luas, tapi cukup. Tempat tumbuh berbagai bunga dan
satu pohon jambu, yaitu jambu batu, yang ibuku suka kesel kalau sudah mulai
banyak ulatnya.
( DUA)
Aku
juga pindah sekolah, ke SMA Negeri yang ada di Bandung. Bagiku, itu
adalah sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau enggak, minimal se-Asia lah. Bangunannya sudah tua, peninggalan
Belanda, tapi masih bagus karena keurus.
Ada tumbuh pohon besar di
halaman sekolah. Cabangnya banyak dan bagus kalau dilihat senja hari, dan juga
siang, kalau mendung, dan juga pagi, kalau mau. Sebagian orang percaya pohon
itu berhantu, tapi aku gak takut, kecuali kalau harus tidur sendirian malam
hari di situ.
Dulu,
jalan di depan sekolahku, cuma jalan biasa, lebarnya kira-kira tiga meter dan
belum banyak kendaraan yang lewat, termasuk angkot. Sehingga untuk bisa sampai
di sekolah, aku harus mau berjalan sepanjang kira-kira 200 meter, yaitu setelah
aku turun dari angkot di daerah pertigaan jalan itu.
Sekarang
jalan itu, sudah berubah, sudah jadi jalan raya
yang dipadati oleh banyak kendaraan. Dulu, motor
juga belum banyak. Hanya beberapa orang saja yang pake. Sebagian besar
bepergian dengan angkot atau bemo.
Rasanya,
waktu itu, Bandung
masih sepi, belum begitu banyak orang. Setiap pagi masih suka ada kabut dan hawanya
cukup dingin, seperti menyuruh orang untuk memakai sweater
atau jaket kalau punya.
Selain
romantis, sekolah itu adalah tempat yang banyak menyimpan kenangan.
Terutama menyangkut dengan seseorang yang sangat aku cintai, yang pernah selalu
mengisi hari-hariku di masa lalu, yang malam ini,
ingin kuceritakan kepadamu.
Akan
aku tulis semuanya sesuai dengan apa yang terjadi, meskipun tidak begitu
detail, tapi itulah intinya. Ada
nama tempat dan nama orang yang sengaja kusamarkan, untuk tidak merembet menjadi
suatu persoalan dengan pemilik tempat dan orang yang bersangkutan.
Semua,
akan kutulis dengan menggunakan cara si dia di dalam bergaya bahasa. Entah gaya apa, pokoknya, kalau dia bicara pun, bahasa
Indonesianya cenderung agak baku.
Kedenger sedikit tidak lazim, seperti bahasa melayu
lama yang biasa digunakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi itu bukan hal
yang harus dipersoalkan, ini cuma sekedar agar bisa sekaligus mengenang khas
dari dirinya.
Sebelumnya,
aku mau cerita dulu di mana posisiku sekarang. Malam ini aku sedang di ruang
kerjaku bersama hot lemon tea
dan lagu-lagu Rolling Stones, di kawasan Jakarta Pusat, di rumah yang aku
tempati bersama suamiku sejak tahun 1997.
Malam
ini, tanggal 11 September tahun 2010. Anakku sudah tidur. Dia lelaki dan masih
berusia 10 tahun. Sedangkan suamiku, dia belum pulang, katanya ada kerjaan
kantor yang membuat dia harus lembur.
Mari kita mulai, dan
inilah ceritanya:
(TIGA)
Pagi
itu, di Bandung, pada bulan September, tahun 1990, setelah turun dari angkot,
aku jalan menuju sekolahku sebagaimana yang lainnya yang juga sama begitu.
Bedanya, aku jalan sendirian, yang lain ada yang berdua atau lebih.
Dari
arah belakang, aku mendengar suara motor. Suaranya agak berisik dan yang bisa
kuingat di masa itu, belum begitu banyak siswa yang pergi sekolah dengan
memakai motor.
Ketika
motor itu sudah mulai sejajar denganku, jalannya melambat. Seperti sengaja
ingin menyamai kecepatanku berjalan. Pengendaranya menggunakan seragam SMA
Meskipun
saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku tetap waspada, kuatir
barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku. Dia
bertanya:
“Selamat
pagi”
“Pagi”,
kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar
“Kamu Milea, ya?”
“Kamu Milea, ya?”
“Eh?”,
kutoleh dia, memastikan barangkali aku kenal dirinya. Nyatanya tidak, lalu
kujawab: “Iya”
“Boleh gak aku meramal?”
“Meramal?”, Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok meramal? Kok bukan kenalan?
“Iya. Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin”.
“Boleh gak aku meramal?”
“Meramal?”, Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok meramal? Kok bukan kenalan?
“Iya. Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin”.
Dia
pasti ngajak becanda. Aku gak mau. Tapi aku tidak tahu harus jawab apa. Hanya
bisa senyum, mungkin itu cukup, sekedar untuk berbasa-basi. Jangan judes juga.
Iya.
Asli,
aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Mungkin satu sekolah denganku,
tapi aku belum mengenal semua siswa di sekolahku, termasuk dirinya. Aku hanya
murid baru. Baru dua minggu.
“Mau ikut?”, dia nanya
“Makasih”, jawabku. Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Kupandang dia, sebentar: “Udah deket”, lanjutku.
“Oke”, katanya, “Suatu hari, Milea, kamu akan naik motorku. Percayalah”
Aku diam, karena gak tahu aku harus bilang apa
“Duluan ya!”, katanya.
Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata “iya”. Habis itu, dia berlalu, memacu motornya. Nampak baju seragamnya berkelabatan, kalau guru tahu, pasti akan disuruh dimasukin ke celana.
“Mau ikut?”, dia nanya
“Makasih”, jawabku. Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Kupandang dia, sebentar: “Udah deket”, lanjutku.
“Oke”, katanya, “Suatu hari, Milea, kamu akan naik motorku. Percayalah”
Aku diam, karena gak tahu aku harus bilang apa
“Duluan ya!”, katanya.
Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata “iya”. Habis itu, dia berlalu, memacu motornya. Nampak baju seragamnya berkelabatan, kalau guru tahu, pasti akan disuruh dimasukin ke celana.
(EMPAT)
Waktu
istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan untuk memenuhi
ramalan anak itu. Boro-boro, kepikiran juga enggak. Aku hanya ingin membeli
sesuatu untuk kuminum. Tapi Nandan, teman sekelas, Ketua Murid kelas 2 Biologi
3, minta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada yang mau dibahas.
Dia
bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar dia saja yang beli. Makasih kataku,
dan memang, dia lalu pergi, ke kantin. Tak lama dia
kembali, membawa beberapa teh kotak.
Di
kelas, selain Nandan, ada juga Rani dan Agus, semuanya teman sekelas. Hal yang
dibahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk aku menjadi sekertaris,
dan juga sekaligus menjadi bendahara kelas 2 Biologi 3. Aku sih oke saja.
Bagiku, gampang lah itu.
Waktu
kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang permisi dan lalu masuk ke
kelas. Nandan, Rani dan juga Agus, tahu siapa dia. Namanya Piyan, siswa dari
kelas 2 Fisika 1, datang memberiku surat, katanya itu surat titipan dari
kawannya, tapi tidak disebut nama kawannya.
Dengan
sedikit rasa heran, setelah Piyan berlalu, kubaca surat itu:
“Milea, ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi aku mau meramal lagi: Besok kita akan ketemu ”
“Milea, ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi aku mau meramal lagi: Besok kita akan ketemu ”
Aku
langsung bisa tahu siapa yang ngirim surat.
Ini pasti dia, orang yang tadi pagi naik motor dan bilang mau meramal. Nandan
nanya, dia ingin tahu surat apa, aku bilang cuma
surat biasa.
Surat itu, segera
kulesakkan dalam tas sekolah, untuk kembali menyimak Nandan yang banyak bicara
tentang ini itu yang menurutku membosankan. Tapi aku sudah tidak bisa lagi
konsentrasi dengan kata-kata mereka. Pikiranku, entah mengapa, sebagian besar,
mendadak melayang kepada Sang Peramal.
(LIMA)
Hari
itu hujan, aku pulang dijemput pamanku. Dia itu adik dari ayahku, mahasiswa
tingkat akhir di perguruan tinggi swasta, namanya Fariz. Dia sudah lama di
Bandung dan kost di daerah Setiabudi.
Ayah
nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah dinas ayahku,
karena ada sedikit keperluan. Di jalan pulang, entah mengapa, ramalan orang
itu: bahwa besok akan bertemu, terus saja kepikiran.
Apa?
Besok? Hah, besok bertemu? Bukankah besok itu hari minggu? Aku langsung bisa
nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi. Bagaimana bisa bertemu, kalau tidak
di sekolah? Dia, ah, cuma tukang ramal amatir!
Bagiku,
tak lebih, dia hanya anak nakal, yang suka iseng menggoda cewek. Huh! Jika itu
baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia harus tahu aku orangnya
selektif.
No comments:
Post a Comment