Tuesday, November 24, 2015

Novel "Three Sahabat" bag (1)



Gembosnya Ban Dalam Sepeda Motor Kepala Sekolah    




Hari Rabu. Tiga hari sebelum buku raport para pelajar dibagikan, SMA Budi Utomo dihebohkan suatu peristiwa, gembosnya ban dalam sepeda motor Pak Soedirman Kepala Sekolah. Ada orang yang menggembosi dengan benda tajam dan runcing sepertinya menggunakan paku.
Peristiwanya terjadi ketika final lomba tarik tambang antara kelas XII-IPS1 dan kelas XII-IPA4. Lomba tarik tambang merupakan lomba paling bergengsi di antara berbagai program class meetin2 yang diadakan oleh SMA Budi Utomo demi mengisi waktu kosong belajar setelah selesainya ulangan tengah semester dan sebelum buku raport dibagikan. Selain class meeting, waktu kosong pelajaran juga dimamfaatkan untuk kegiatan remedial bagi pelajar yang nilai ulangannya di bawah standar.
Semua mata tertuju ke final tarik tambang tersebut, baik guru-guru, para staf sekolah dan semua siswa-siswi. Hingga terjadinya penggembosan ban dalam sepeda motor Pak Soedirman. Pelaku penggembosan tidak ada yang melihat kecuali dua orang siswa, yakni Amin dan Ramadhan. Itupun yang mengetahui bahwa Amin dan Ramadhan melihat pelakunya adalah Bu Sri.
Sepeda motor Pak Soedirman berada di parkiran sepeda motor para guru yang letaknya dekat dengan kamar kecil siswa. Kebetulan secara bersamaan, Amin dan Ramadhan kebelet pipis. Mereka masuk dan keluar kamar kecil juga hampir bersamaan. Ketika mereka keluar melihatlah peristiwa penggembosan tersebut.
Sedangkan Bu Sri tidak ikut menyaksikan pertandingan tarik tambang, beliau berada di dalam ruangan kelas XI-IPS6, sedang mengisi buku raport para muridnya yang beberapa hari lagi akan dibagikan. Letak kelasnya sekitar 50 meter dari parkiran sepeda motor para guru. Bu Sri keluar kelas untuk membuang beberapa sampah kertas yang tidak terpakai ke kotak sampah yang berada di luar kelas. Jarak kotak sampah sekitar 30 meter dari parkiran sepeda motor para guru.
Usai Bu Sri memasukkan sampah dan mau kembali masuk ke dalam kelas, tidak sengaja Bu Sri melihat juga peristiwa penggembosan tersebut. Namun, dikarenakan jarak Bu Sri cukup jauh dengan para pelakunya, Bu Sri tidak bisa dengan jelas melihat wajah mereka. Pelakunya setelah melakukan penggembosan langsung melarikan diri dengan menutup wajah.
Meskipun Bu Sri tidak secara jelas melihat wajah para pelaku, Bu Sri tahu pelaku penggembosan ada dua orang. Dilihat dari ciri-ciri mereka, pelakunya kemungkinan besar siswa SMA Budi Utomo sendiri.
 “Hayo jawab siapa pelakunya!? Kalian pasti mengetahui siapa mereka. Melihat wajah mereka. Karena kalian paling dekat dengan mereka. Bu Sri mendekati Amin dan Ramadhan langsung bertanya di lokasi kejadian.
“Kami tidak tahu, Bu. Jawab Amin dan Ramadhan serentak, setelah sebelumnya mereka saling bertatapan seolah-olah berbicara dengan hati, kemudian menyahut dengan jawaban yang sama.
“Iya, Bu. Kami tidak tahu siapa mereka, karena mereka menutup wajahnya dengan tangan.” Ramadhan berusaha menjelaskan.
“Akh alasan. Tidak mungkin kalian tidak tahu. Kalian mau melindungi kedua pelaku tersebut. Karena mereka teman kalian. Sekali lagi ibu bertanya, bila kalian tetap tidak mau menjawab! Kalian akan saya laporkan Pak Soedirman, supaya kalian dihukum dengan berat. Ayo jawab! Siapa kedua pelaku tersebut?”
“Benar, Bu. Kami benar-benar tidak tahu.” Amin dan Ramadhan kompak menjawab.
Baik. Kalian berdua tetap tidak mau menyebut siapa pelakunya. Kalian akan saya laporkan Pak Soedirman, supaya kalian dipanggil. Sekarang kalian boleh kembali ke kelas!”
Besok paginya, Amin dan Ramadhan langsung dipanggil dan menghadap Pak Soedirman di ruang kerja beliau.
“Bapak tanya kalian baik-baik! Siapa pelaku penggembosan ban dalam sepeda motor Bapak? Mohon kalian jawab! Tanya Pak Soedirman lembut.
Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Amin dan Ramadhan, mereka hanya menundukkan kepala dan mengelengkan kepala, menandakan bahwa mereka tidak tahu.
“Dusta, Pak! Mereka sangat dekat dengan pelakunya pada saat kejadian. Ketika kedua orang tersebut menggembosi ban dalam sepeda motor Bapak. Jadi mustahil mereka tidak tahu.” Bu Sri yang duduk di samping Pak Soedirman ikut berbicara.
“Bapak tanya sekali lagi! Siapa pelakunya? Bila tidak!? Bapak akan beri suatu hukuman kepada kalian berdua. Hayo jawab! Nada bicara Pak Soedirman meninggi.
Amin dan Ramadhan sikapnya tetap sama. Tetap tidak ada satupun kata-kata keluar dari mulut mereka. Kembali mereka menundukkan kepala dan menggelengkan kepala, tanda bahwa mereka tidak mau menjawab atau tidak tahu.
Baik. Kalau begitu, kalau kalian tidak mau menjawab. Sehabis libur sekolah, sekitar sepuluh harian lagi, Di hari pertama masuk sekolah. Bapak akan mengadakan sidang istimewa yang akan dihadiri oleh semua pelajar, semua guru dan semua staf di sekolah ini untuk hadir di sidang tersebut. Tidak ada upacara bendera pada hari itu. Bapak harapkan kalian mau untuk menjawab siapa pelaku penggembosan ban dalam sepeda motor Bapak. Kalau kalian mau menjawab kalian selamat. Bila tidak kalian akan dihukum.
”Tapi bukan saya yang menentukan kalian bersalah atau tidak. Dan bukan saya yang menentukan hukuman apa yang akan kalian dapatkan, jika kalian tidak mau menjawab. Yang menentukan adalah dewan guru yang terdiri dari 13 orang. Dalam sidang tersebut kalian boleh ditemani oleh orang tua, wali murid atau siapa saja untuk mendampingi kalian di persidangan. Sekarang kalian boleh keluar dari ruangan ini! Selamat bertemu di hari sidang istimewa tersebut.” Pak Soedirman berbicara agak keras dan sedikit emosi, karena Amin dan Ramadhan tidak mau menjawab dan memberitahukan siapa pelaku penggembosan sepeda motor beliau.
Amin dan Ramadhan berjalan keluar dari ruangan kepala sekolah dengan wajah lesu dan berjalan menunduk lemah. Ramadhan mempercepat langkahnya menuju kelas meninggalkan Amin, tanpa menyapa atau berkata satu patah katapun kepada Amin. Ramadhan dan Amin memang beda kelas. Amin kelas XI-IPA3, sedangkan Ramadhan kelas XI-IPA5.
Amin disambut dua sahabat karibnya, Satrio dan Abdurrahman. Mereka setia menunggu, sejak awal Amin masuk ruangan kerja Pak Soedirman.  Menunggu dengan perasaan cemas dan khawatir.
“Ada apa, Min? Kok kamu dipanggil Kepala Sekolah?” Tanya Satrio penasaran.
“Masalah sepeda motor Pak Soedirman kemaren yang digembosi orang. Aku dan Ramadhan ditanya siapa pelakunya, karena saat kejadian kami dianggap menyaksikan dan mengetahui siapa pelakunya.”
“Terus. Kamu sebutkan pelakunya?” Tanya Satrio lagi.
“Tidak.”
“Emang kamu tahu siapa pelakunya?” Abdurrahman juga ikut bertanya penasaran.
“Kalau yang itu aku tidak mau menjawabnya, Man.” Jawab Amin pelan.
 “Ramadhan bagaimana? Dia sebut siapa pelakunya?” Satrio kembali bertanya.
“Tidak. Dia juga bungkam.”
“Terus. Masalah penggembosan Pak Soedirman ini, sudah selesai atau belum? Kamu dan Ramadhan mendapat hukuman dari Pak Soedirman?” Satrio mencerca Amin dengan pertanyaan-pertanyaan.
 “Masalahnya belum selesai. Aku dan Ramadhan juga belum dihukum Pak Soedirman.” Jawab Amin.
“Tindakan Pak Soedirman terhadap masalah ini?” Selidik Satrio.
“Pak Soedirman akan mengadakan sidang istimewa yang dihadiri semua siswa-siswi, guru-guru dan para perangkat sekolah. Aku dan Ramadhan yang akan di sidang. Kami diminta mau menyebutkan siapa pelaku penggembosan sepeda motor beliau. Di sidang tersebut, kami boleh didampingi orang tua atau wali siswa atau siapa saja boleh sebagai pendamping.” Jelas Amin
“Kapan waktunya?”
“Hari pertama masuk sekolah, setelah liburan tengah semester.”
“Aduh, masalahnya sampai segitunya. Harus sidang istimewa segala. Kalau kamu dan Ramadhan tidak menyebut pelakunya, apa sangsinya?”
“Kami akan dihukum berat, bahkan bisa dikeluarkan dari sekolah ini. Kecuali kami mau menyebutkan siapa pelakunya.”
 “Kalau  begitu sebut saja pelakunya di sidang istimewa nanti! Kalau kamu memang tahu pelakunya.”
‘’Kalau itu aku menunggu sidang istimewa saja, Sat.’’
‘’Ayo kita masuk kelas! Kayaknya Pak Yusuf, wali kelas kita sudah ada di kelas untuk memberi pengarahan.’’ Abdurrahman memperingatkan Satrio dan Amin yang serius ngobrol.
Mereka berlari kecil menuju kelas XI-IPA3, kelas mereka yang jaraknya sekitar 60 meter dari dari ruangan kepala sekolah.
Abdurrahman yang berada di depan, berlari terbalik menghadap Satrio dan Amin yang berlari di belakang. Abdurrahman mengejek mereka berdua. Kesepuluh jari tangan ditarik-tarik ke depan dada seolah-olah memberi isyarat agar mereka berdua mengejarnya. Karena berlari terbalik Abdurrahman tidak menyadari di depannya ada Mang Udin pesuruh sekolah yang membawa nampan berisi beberapa gelas minuman dan kue-kue. Hampir saja Abdurrahman menabrak Mang Udin, kalau saja Mang Udin tidak gesit menghindar dengan cara melompat.
  “Et et et et et eiiiiiit. Hati-hati, dong! Teriak Mang Udin sambil melompat ke samping kiri. Hampir saja nampan yang dibawanya terjatuh. Untung saja, Mang Udin bisa menjaga keseimbangan.
Abdurrahman berhenti. Kedua telapak tangannya disatukan dan disilangkan di depan wajah. Ia menganggukkan kepala dan wajahnya ke atas dan ke bawah berkali-kali, sambil berkata, “Maaf, Mang tidak lihat. Maaf ya, Mang Udin yang ganteng. Paling baik dan cakep sedunia.
“Ya, Sudah. Ayo kembali ke kelas! Belajar!”
Satrio dan Amin tertawa terbahak-bahak melihat kejadian tersebut. Mereka pun kini meninggalkan Abdurrahman di belakang. Sambil berlari kecil mereka mengejek Abdurrahman dan serentak berkata, “Ayo, Abdurrahman! Sekarang kamu yang kejar kami. Ha Ha Ha Ha Ha.”
“Eh jangan tinggalkan aku. Tunggu!”

***

ket : ini novel naskahnya pernah ditolak oleh Bentang Pustaka, semoga pembaca online tidak menolak untuk sekedar membacanya. 

No comments:

Post a Comment